BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 1

Pendahuluan http://www.blogger.com/img/gl.spell.gif
eformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke-20 M, telah membawa
perubahan besar pada kebijakan pengembangan sector pendidikan, yang secara umum
bertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi dan demokratisasi. Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah telah meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu
yang diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya, seperti
kehutanan, pertanian, koperasi, dan pariwisata. Otonomisasi sektor pendidikan kemudian didorong pada
sekolah, agar kepala sekolah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatan kualitas proses
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Baik guru dan kepala sekolah, karena
pemerintah daerah hanya memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana, prasarana, ketenagaan,
maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan sekolah.
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989. Salah satu isu
penting dalam undang-undang tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor
pendidikan, sebagaimana ditegaskan pada pasal 9 bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Pasal ini merupakan kelanjutan
dari pernyataan pada pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan. Demokratisasi pendidikan merupakan implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan
mendorong pengelolaan sector pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah.
Berbagai perencanaan pengembangan sekolah, baik rencana pengembangan sarana dan alat, ketenagaan,
kurikulum serta berbagai program pembinaan siswa, semua diserahkan pada sekolah untuk
merancangnya serta mendiskusikannya dengan mitra horizontalnya dari komite sekolah.
Terkait dengan demokratisasi penyelenggaraan sekolah ini, setidaknya ada tiga aspek yang menjadi pusat
perhatian dalam kajian ini, yakni demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi
kurikulum di sekolah, demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran,
sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada aspirasi
siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman, dan tidak merugikan mereka
yang cepat dalam pemahaman bahan ajar. Semua memperoleh pelayanan yang proporsional, dan semua
harus berakhir dengan batas minimal pencapaian kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama
dalam koridor mastery learning. Kemudian, semua upaya demokratisasi tersebut juga tidak akan efektif
membawa berbagai perubahan tanpa didukung dengan pola pengelolaan sekolah yang sesuai. Oleh sebab
itulah, model manajemen yang harus dikembangkan dalam konteks demokratisasi sekolah tersebut
adalah manajemen yang demokratis, yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan
putusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang, serta perubahan paradigma dalam
menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi sekolah, dengan orientasi kepuasan pelanggan.
Demokratisasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik bila pola
pengelolaan sekolahnya otokratis, sentralistik dan kurang aspiratif serta kurang pelibatan mitra horizontal
sekolah. Usulan-usulan kreatif guru akan selalu tersandung oleh aturan-aturan birokrasi dan kekuasaan
vertikal. Oleh sebab itu, demokratisasi kurikulum dan pembelajaran harus diimbangi dengan
demokratisasi dalam pengelolaan dan manajemen sekolah, dengan pelibatan seluruh unsur dalam
organisasi sekolah tersebut, bahkan dalam batas-batas tertentu, juga melibatkan client dan user sekolah,
khususnya dalam evaluasi dan pengembangan kurikulum, serta upaya-upaya mengimplementasikan
berbagai program dan gagasan cerdas pengembangan sekolah.
Praktik sekolah demokratis ini tentu memerlukan pelibatn. Dalam konteks assessment kurikulum,
pelibatan aspiratif untuk menjaring berbagai gagasan pengembangan, bisa dilakukan pada semua level
sekolah. Akan tetapi, dalam konteks pelibatan siswa dalam pengembangan proses pembelajaran, masih
belum secara totalitas dikembangkan secara demokratis, khususnya untuk level sekolah dasar dan
prasekolah, walupun berbagai penelitian di negara maju telah dicobakan sampai pada level taman kanak-
kanak.


Bab
1
R BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 2

Sekolah Demokratis

MENGAPA REFORMASI DALAM PENDIDIKAN
emasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke
permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tapi semua jalur dan jenjang
pendidiikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa
departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oelah
Departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tapi juga oleh para praktisi dan
mengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis,
jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata
hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah
jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.
Bersamaan dengan itu, di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah
negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia. Bahkan jika dilihat dari indeks
sumber daya manusia, yang salah satu indikatornya adalah sector pendidikan, posisi Indonesia kian
menurun dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia yang
sudah tidak bisa dihindari. Indonesia kini menjadi bagian dari kompetisi masyarakat dunia. Jika tidak bisa
menjadi pemenang, maka akan menjadi yang kalah serta tertinggal dari masyarakat lainnya, khususnya
dalam meraih pasar dan peluang kesempatan kerja yang tidak dibatasi oleh garis wilayah kenegaraan, tapi
bergerak kian meluas, dan kini dimulai dari wilayah Asia Tenggara yang akan terus bergerak menjadi
wilayah dunia. Oleh sebab itu, penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif serta
memiliki berbagai keunggulan komparatif menjadi sebuah keharusan yang mesti menjadi perhatian dalam
sektor pendidikan.
Terkait dengan persoalan serta pandangan di atas, ada beberapa pemikiran tentang pengembangan
konteks pendidikan ke depan dalam memasuki abad ke-21 yang membawa berbagai problematika
ekonomi, sosial dan politik sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah,
sebagai berikut:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi membuat bahan-bahan ajar yang
harus disampaikan dalam proses pendidikan menjadi sangat banyak, dan bisa dikhawatirkan akan
membuat stagnasi pengembangan ilmu dan peradaban, khususnya pada level pendidikan tinggi. Oleh
sebab itu, struktur program pendidikan tinggi harus mampu memberikan jaminan pemberian reward
dan insentif yang memadai untuk pengembangan ilmu dan teknologi pada level pendidikan tinggi
tersebut, sehingga temuan-temuan baru dalam bidang sains dan teknologi terus bertambah, dan
peradaban terus meningkat.
2. Perkembangan teknologi akan terjadi terus-menerus dan bisa terjadi dalam percepatan yang tingi di
berbagai negara yang berbeda-beda, dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi melalui
industri dan jasa. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu menjembatani antara sektor kerja dengan
kemajuan ilmu dan teknologi tersebut, melalui updating skill dan keterampilan serta berbagai temuan
baru yang harus dikuasai oleh pekerja yang terkait dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
3. Perubahan demografis akan terjadi di mana-mana dan akan membawa implikasi pada distribusi
penduduk berdasarkan usia. Di negara-negara tertinggal akan memiliki indeks kelahiran yang tinggi.
Dengan demikian, angka usia sekolah dasar juga tinggi, dan akan terus meminta perhatian untuk
memperoleh prioritas. Sementara di negara-negara maju, angka kelahiran cenderung menurun.
Dengan demikian, pada decade-dekade awal di abad ke-21 ini, negara-negara maju akan kekurangan
usia angkatan kerja, sementara angka pension konstan atau mungkin meningkat, dan membutuhkan
jaminan social dan kesehatan. Dengan demikian, negara-negara maju akan terus meningkatkan
pendapatan negaranya melalui sector pajak dari sektor usaha jasa agar tetap bisa memberi jaminan
bagi mereka yang pension, namun pada saat yang sama, negara maju akan sangat bergantung pada
negara berkembang atau negara tertinggal, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Oleh sebab itu,
Bab
2
M BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 3

negara-negara berkembang harus merancang outcome pendidikannya agar bisa memasuki pasar
global untuk angkatan tenaga kerja, mereka harus memiliki skill dan keterampilan, menguasai bahasa
komunikasi global, dan memahami kultur negara-negara yang akan dikunjunginya.
4. Negara-negara terus akan menjadi saling ketergantungan satu dengan lainnya, yang tidak saja dalam
sector ekonomi dengan dibukanya pasar uang di setiap negara, tapi juga sector politik dan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu membuka cakrawala global
tersebut, dan mampu mengarahkan sikap-sikap multikulturalisme, yang harus mereka miliki ketika
akan memasuki pasar tenaga kerja di dalam maupun di luar negeri.
5. Kemajuan ilmu dan teknologi yang mendorong kemajuan sector ekonomi dengan keterbukaan pasar
secara global, akan membawa implikasi terbentuknya masyarakat dunia baru. Pendidikan harus
mampu mendesain masyarakat tersebut sebagai masyarakat humanis, cinta lingkungan, memelihara
kestabilan ekosostem, antidrug, dan senantiasa hidup sehat.
Pandangan dan analisis di atas setidaknya merefleksikan beberapa faktor penting yang mendasari
pentingnya reformasi pendidikan, yaitu:
1. Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam dengan indicator rendahnya kualitas
rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi.
2. Perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global, yang harus dihadapi dengan
kesiapan kualitas SDM kompetitif.
Di samping, itu ada beberapa analisis rational mengapa reformasi pendidikan itu mutlak dilakukan dalam
menghadapi era globalisasi di abad ke-21, dengan mengadaptasi terhadap argument-argumen William J.
Mathis dari Vermont University (Mathis, 1994): 12-19), yaitu:
1. Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek
kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada masyarakat konstituennya
secara fair, karena mereka adalah stakeholder-nya, dan sekaligus client dari sekolah tersebut.
Masyarakat adalah kontributor terhadap sekolah (tidak terkecuali sekolah negeri, karena budgeting
sekolah negeri dari anggaran pemerintah, yang juga adalah uang dari rakyat), dan mereka memiliki
hak untuk dilayani.
2. Perubahan dunia yang sangat cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi berbagai
perubahan tersebut, tidak hanya dalam aspek kemampuan komunikasi, tapi juga kecakapan dan
kemampuan penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Tantangan ke depan adalah
keragaman permintaan pasar, dan sekolah harus mampu mempersiapkan orang-orang yang akan
mengisi kebutuhan tersebut. Sumber daya manusia yang diserap sekolah juga membawa keragaman
tersebut. Dengan demikian tidak fair kalau semua siswa harus memiliki hanya satu keterampilan yang
sama, dan jika terjadi, itu merupakan tragedy dalam masyarakat demokratis, karena masyarakat
demokratis menghargai keragaman.
3. Kemajuan teknologi dalam semua sektor industri dan pelayanan jasa akan kian menggeser posisi
manusia. Kecanggihan alat-alat teknologi semakin mengefisiensikan proses industri dan layanan jasa.
Dengan demikian, pendidikan harus mempersiapkan SDM agar tidak tergeser oleh alat-alat modern
itu, tapi justru menjadi bagian dari kemajuan-kemajuan tersebut.
4. Penurunan standar hidup, yakni bahwa pada generasi sebelum mereka, cadangan natural resource
sangat kuat, dan seluruh umat manusia terpenuhi berbagai kebutuhan hidupnya oleh cadangan alam
semesta. Pada generasi mereka, cadangan tersebut akan semakin menipis dan akan semakin habis.
Dengan demikian akan terjadi penurunan standar hidup dan mereka harus diberitahu tentang
kemungkinan-kemungkinan tersebut, yang bisa diatasi dengan penemuan-penemuan teknologi baru,
serta dengan adanya kerjasama global antar satu bangsa dengan lainnya. Inilah intinya kehidupan
demokratis dengan penguatan jaringan antar bangsa.
5. Perkembangan ekonomi akan semakin mengglobal, berbagai perusahaan yang berkantor pusat di
Amerika atau jepang misalnya, memiliki kantor-kantor perwakilan di berbagai negara melalui
kerjasama investasi bersama pengusaha lokalnya masing-masing. Ini adalah trend perkembangan
ekonomi global ke depan, yang harus diketahui oleh para siswa sebagai sebuah kenyataan yang tidak
mungkin dihindari. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 4

6. Peranan wanita semakin kuat, posisi wanita tidak lagi marginal. Mereka memiliki hak dan peluang
yang sama dalam karir dan pekerjaan dengan pria. Tidak ada diskriminasi pekerjaan atas dasar
gender.
7. Pemahaman doktrin keagamaan kian terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi penghalang
kemajuan, tapi justru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan.
8. Peran media massa yang terus menguat, baik dalam mensosialisasikan berbagai perubahan social,
mengkritik berbagai kebijakan maupun sebagai media untuk memperoleh berbagai hiburan
alternative atau sumber informasi tambahan, melalui berbagai program televise, yang semuanya bisa
menjadi kontributor pendidikan yang positif, dan bisa juga menjadi kendala yang negative bagi
program-program pendidikan.
Pengembangan sekolah menuju model sekolah demokratis ini relevan untuk dilakukan karena berbagai
argumentasi, yang secara garis besar dapat dikategorisasi menjadi dua, yaitu tipologi sekolah abad ke-21,
dan model pembelajaran yang sesuai. Dalam konteks pertama, Lyn Haas (haas, 1994) menjelaskan,
bahwa sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu:
1. Pendidikan untuk semua; yakni semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh
pelajaran sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas
kurikuler, serta memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta sesuai
pula dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Paradigma yang memisahkan pendidikan akademik
sebagai calon untuk memasuki pasar tenaga kerja, sudah tidak relevan lagi, karena perubahan yang
menuntut masyarakat untuk menjadi bagian dari kontribusi untuk kemajuan.
2. Memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karena pasar
menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern,
kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan.
3. Penekanan pada kerjasama, yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan
kerjasama dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran,
sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama, karena trend pasar ke depan
adalah pengembangan kerjasama, baik antara perusahaan, atau antara perusahaan dengan masyarakat
dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di
lapangan profesi mereka.
4. Pengembangan kecerdasan ganda; yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk
mengembangkan multiple intelligence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill
dan keterampilan yang beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.
5. Integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki
kepekaan social.
Persoalan besar dalam UU No. 22 tahun 1999 adalah perubahan radikal dalam otoritas pengembangan
pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknasnya, kini
terdelegasikan pada pemerintah daerah. Dan kini perubahan radikla tersebut memperoleh penguatan
dengan diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang
menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan
kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis, artinya, bahwa keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi
pendukungnya akan lebih besar daripada pemerintah pusat.
Bersamaan dengan itu pula dalam pasal 9 dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat
dapat diwujudkan dalam bentuk keterlibatan mereka dalam komite sekolah atau dewan pendidikan
daerah. Komite sekolah berhak ikut serta dalam merumuskan perencanaan pendidikan, tidak saja dalam
perencanaan makro tapi sampai pada kebijakan restrukturisasi kurikulum, walaupun dalam batas-batas
gagasan besar dan tidak harus memasuki wilayah teknis, karena itu sudah menjadi otoritas guru dan
kepala sekolahnya. Demikian pula dengan evaluasi keberhasilan sekolah. Menurut pasal 9 di atas,
masyarakat berhak untuk melakukan evaluasi terhadap sekolah, tidak saja dalam kerangka program
pendidikan secara makro, tapi pada wilayah mikro, kebijakan pengembangan sekolah dalam semua
aspeknya. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 5

Kemudian pemerintah daerah juga diberi kewenangan oleh undang-undang sebagaimana dicantumkan
dalam pasal 10 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak men garahkan,
membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada pasal 11 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa pemerintah
dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Kemudian pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 6

Demokratisasi
Pengembangan Kurikulum

KURIKULUM, PENGERTIAN DAN MACAM-MACAMNYA
au dibawa ke mana anak-anak oleh sekolah, siapa yang paling berhak menentukan arah dan
kebijakan sekolah. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam penyelenggaraan
sekolah, dalam sistem atau pendekatan apa pun. Semangat demokratis dalam penyelenggaraan
sekolah akan menginspirasi bahwa public sekolah memiliki hak yang sangat kuat dan sangat besar dalam
penetapan arah kebijakan kurikulum sekolah, barangkali sama kuatnya dengan pemerintah sendiri, karena
client sekolah adalah publiknya dan pemerintah yang juga dalam konteks lain sebagai user, bukan
terbatas dalam aspek penerimaan tenaga kerja pada instansi pemerintah saja, tapi lapangan kerja secara
lebih luas di semua sector, pertanian, industri, jasa atau lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri.
Semakin kompetitif SDM bangsa, maka akan semakin meningkat dignity bangsa tersebut di hadapan
bangsa-bangsa lainnya. Sebaliknya semakin merosot daya saingnya, maka akan semakin menurun pula
nation dignity-nya. Dengan demikian, public sekolah dan pemerintah sama-sama memiliki kepentingan
dalam penetapan arah dan pendidikan anak-anak di sebuah sekolah.
Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan pada
publiknya, dengan dukungan SDM guru berkualitas, serta sarana sumber belajar lainnya yang memadai.
Diskursus tentang kurikulum masih terus berjalan, apakah kurikulum itu hanya bermakna Cource Out
Line atau GBPP, atau mencakup seluruh pengalaman yang diberikan pada anak dalam proses
pendidikannya oleh guru. Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah tidak
lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari serta urutan pelajaran yang akan dipelajari
siswa, tapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di bawah arahan dan
bimbingan sekolah. Pengalaman yang diperoleh siswa dari program-program yang ditawarkan sekolah
amat variatif, tidak sebatas hanya pembelajaran di dalam kelas, tapi juga lapangan tempat mereka
bermain di sekolah , kantin, dan bahkan bis sekolah. Semua itu memberikan kontribusi pengembangan
siswa, yang mempengaruhi perubahan-perubahan pada mereka.
Sesuai pengertian di atas, maka kurikulum, sebagaimana dikemukakan Sukmadinata memiliki beberapa
karakteristik. yaitu:
1. Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar
para siswa di sekolah, yang mencakup rumusan-rumusan tujuan, bahan ajar, proses kegiatan
pembelajaran, jadwal dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum tersebut merupakan sebuah konsep yang
telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan pendidikan serta masyarakat
sebagai user dari hasil pendidikan.
2. Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang
berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara
koheren dengan lainnya, dan bahwa kurikulum itu sendiri memiliki keterkaitan dengan semua unsure
dalam ssistem pendidikan secara keseluruhan.
3. Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan konsep
yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan
pasar atau tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia.
Bersamaan dengan itu, Allan A. Glatthorn juga menjelaskan tiga variable penting dalam pengelolaan dan
pengembangan sekolah, dan menjadi bagian integral dari hidden curriculum yaitu:
1. Variabel organisasi
2. Variabel sistem social
3. Variabel budaya
a. Rumusan tujuan sekolah yang jelas dan dapat dipahami oleh semua unsurnya, sebagai hasil
konsensus antara pengelola adminsitrasi dan guru.
b. Pengelola administrasi memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap guru dan begitu juga sebaliknya,
guru memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap tenaga administrasi.
c. Pengelola administrasi dan guru memiliki ekspektasi yang baik terhadap para siswa yang
diartikulasikan dengan penguatan pelayanan akademik pada mereka.
Bab
3
M BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 7

d. Pemberian hadiah terhadap mereka yang mencapai prestasi terbaik, dan pemberian hadiah serta
hukuman yang dilakukan secara fair dan konsisten kepada para siswa






















Demokratisasi Pengembangan Kurikulum

Gambar 1

Tentang Model Perumusan Kurikulum Yang Relevan
Untuk Dikembangkan
(Adaptasi Dari Westmeyer)



























Analysis of Need of
Clients, And Users
Psychological
Bases For Curriculum
Identifikasi Masalah
Indikator-Indikator
Kompetensi
Materi Pelajaran
Analysis Sekuensi
dan Ranah
Pilihan Strategi
Materi Dasar
Analisis Kebutuhan Siswa
dan Permintaan Orang tua
Pilihan Evaluasi Pilihan Alat BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 8


Demokratisasi Pengembangan Kurikulum


Gambar 2

Bidang-Bidang Yang Mempengaruhi Keputusan Kurikulum
(Adaptasi Wiles-Bondi).




























Gambar 3
Taksonomi Pilihan Kurikulum.

Pilihan Eclectic













Aliran ini dikembangkan teritama oleh Ralph Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and
Instructions, yang mengembangkan empat pertanyaan dalam penyusunan kurikulum, yaitu:
1. Apa tujuan pendidikan yang hendak dicapai sekolah?
2. Bagaimana mengembangkan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan?
Concern
Filosofi dan
Tujuan
Sistem
Pembelajaran
Pendidikan
Guru
Manajemen
Pembelajaran
Pengembangan
Materi
K
e
m
a
r
i
n
B
e
s
o
k
Regresif Konservatif Liberal Eksperimen- Regeneratif
tasl

Perenialisme Esensialisme Progresifisme Rekonsitruksionisme
Rasionalisme Perkembangan Kurikulum Rekonstruksi Aktualisasi
Akademis Proses Kognitif Sbg Teknologi Sosial Diri
Bercorak Bercorak Bercorak Bercorak Bercorak
Klasikal Disiplin Analitis Futuristik Psichological
Humanistik Humanistik BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 9

3. Bagaimana mengembangkan pengalaman belajar yang efektif dalam proses pembelajaran?
4. Bagaimana proses pembelajaran efektif itu bisa dievaluasi?
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI, APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA?
Bergulirnya UU No. 22 tahun 1999 membawa perubahan banyak pada kebijakan berbagai sector
pembangunan, dan salah satunya adalah sector penddikan yang menjadi bagian dari sector-sektor yang
diotonomisasikan pada daerah. Kajian dan pembahasan tentang otonomisasi sector pendidikan
kemudian memunculkan sebuah paradigma baru, karena jika pengalihan otoritas pemerintah pusat pada
daerah, maka pemerintah daerah akan menjadi serta kinerja para pelaksanaan dan pengelola pendidikan
di tingkat sekolah. Oleh sebab itu, kebijakan yang cukup cerdas dan kini telah bergulir di daerah-daerah
dalam rangka implementasi otonomi dalam pengelolaan pendidikan adalah, menugaskan pemerintah
daerah untuk memfasilitasi program perluasan serta pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan,
sementara berbagai kebijakan akademisnya, baik dimensi pengembangan kurikulum maupun pengelolaan
berbagai aspek operasional pendidikan, menjadi tugas dari setiap unit sekolah. Dengan demikian,
otonomi pendidikan, pada aspek-aspek akademik, inisiasi pengembangan networking horizontal, serta
peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan layanan administrasi pendidikan, berada pada tingkat
sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
1. Apa itu Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kalau Doll mendefinisikan bahwa kurikulum itu adalah seluruh pengalaman yang ditawarkan pada
peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah, lalu apakah KBK juga mempunyai definisi
yang sama, karena intinya juga kurikulum, hanya aksentualisasinya saja yang berbeda. Siskandar
kepala pusat kurikulum Depdiknas mengemukakan, bahwa kurikulum berbasis kompetensi tiada lain
adalah pengembangan kurikulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa
setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan pola berpikir
serta bertindak sebagai refleksi dari pemahaman dan penghayatan dari apa yang telah dipelajari siswa.
Demikian pula dengan Abdurrahman Saleh, dia menyatakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi
adalah perangkat standar program pendidikan yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi
kompeten dalam berbagai bidang kehidupan yang dipelajarinya.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka pembahasan KBK terbatas pada pertimbangan
penyusunan struktur kurikulum serta silabus dari setiap subjek mata pelajaran, termasuk berbagai
kegiatan pembelajaran yang merupakan implikasi dari penekanan KBK tersebut. Dengan demikian,
kompetensi merupakan pusat perhatian dalam perancangan kurikulum, berbagai kebijakan pusat
perhatian dalam perancangan berbagai aktivitas belajar lainnya, mengikuti arah dan tujuan dari
pembinaan kompetensi-kompetensi yang diharapkan.
Lalu apa sebenarnya kompetensi itu. Siskandar mengemukakan, bahwa kompetensi itu adalah
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Demikian pula dengan rumusan yang dikemukakan dalam buku standar kurikulum nasional
pendidikan keagamaan, bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dan kebiasaan-kebiasaan itu harus mampu
dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus, serta mampu untuk melakukan penyesuaian-
penyesuaian dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan,baik profesi, keahlian,
maupun lainnya.
Kemudian, perumusan kompetensi dalam kurikulum juga harus memenuhi beberapa aspek penting,
yaitu:
a. Kompetensi tersebut harus dapat didefinisikan secara jelas dalam standar yang dapat dicapai serta
performance yang terukur.
b. Kompetensi itu harus memiliki konteks, apakah konteks profesionalisme yang memerlukan
keahlian-keahlian tertentu, keterampilan yang digunakan dalam lapangan pekerjaan, kompetensi
komunikasi global, atau kompetensi akademik untuk studi lanjut.
c. Kompetensi merupakan learning outcome yang mendeskripsikan apa yang dapat dibuat
seseorang setelah melalui proses pembelajaran.
d. Terkait dengan itu, maka kompetensi juga harus mendeskripsikan proses pembelajaran yang
harus dilalui siswa untuk mencapai kompetensi harapan. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 10

2. Mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi
Setiap kurikulum disusun dengan end-product berbagai kompetensi, termasuk kurikulum 1994, dan
kurikulum-kurikulum sebelumnya, hanya saja pada kurikulum-kurikulum tersebut rumusan
kompetensi diformat dalam bentuk rumusan tujuan, yang disusun secara hierarkis dari tujuan
nasional, institusional, tujuan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan khusus. Kompetensi terlihat
dalam rumusan tujuan pembelajaran khusus yang akan terakumulasi menjadi tujuan pembelajaran
umum, dan seterusnya sampai tujuan nasional. Rangkaian isi tujuan pada masing-masing tahap itu
berisi berbagai rumusan kompetensi yang diharapkan sebagai hasil pembelajaran.
Kendati demikian, ada beberapa perbedaan distingtif antara kurikulum 94 dengan kurikulum berbasis
kompetensi, yaitu:
a. Kurikulum 94 disusun oleh pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional (dulu
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), dan daerah hanya diberi kewenangan menyusun
kurikulum muatan local maksimal 20%. Sedangkan dalam KBK, pemerintah hanya menyusun
kompetensi standar, sementara elaborasi sylabus-nya diserahkan pada daerah, yang selanjutnya
diserahkan pada sekolah dengan para gurunya. Dan pada KBK, sekolah dengan para gurunya
juga memiliki otoritas, tidak hanya menyusun sekwensi kurikulum tersebut yang lebih sistematis
dan sistematik, namun mereka juga memiliki otoritas untuk memberikan penguatan-penguatan
content of learning, baik atas dasar pertimbangan penguasaan siswa, maupun dalam upaya
mengejar benchmark sekolahnya.
b. Kurikulum 94 pendekatan pembelajaran dan pengembangan kurikulum berbasis tujuan dan
content, sedangkan pada KBK pengembangan kurikulum berbasis pada pengembangan
kompetensi.
Aspek-aspek lain yang juga menjadi cirri KBK dibandingkan dengan kurikulum 94 adalah:
a. Sebagai konsekuensi perumusan kurikulum oleh pemerintah pusat, maka guru harus mampu
memahami strukturnya dengan baik, serta merancang penyampaiannya pada siswa. Untuk itu
semua, guru harus melakukan Analisis Materi Pelajaran (AMP) untuk melakukan penyesuaian
metode, alat dan waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pembelajaran, serta diikuti
dengan penyusunan Program Satuan Pelajaran (PSP) dan Rencana Pembelajaran (RP).
Sedangkan dalam kurikulum berbasis kompetensi, guru harus merancang silabus yang relevan
dengan kompetensi yang diharapkan, serta menetapkan strategi pembelajaran dan penugasan-
penugasan pada siswa.
b. Dalam proses pembelajaran, kurikulum 94 juga pada hakikatnya menuntut siswa lebih aktif untuk
melakukan proses pembelajaran dan menjadikan sekolah sebagai center for learning bukan center
for teaching. Akan tetapi, implementasi active learning yang semata bertumpu pada lembar kerja
siswa (LKS), proses pembelajaran menjadi sangat monoton dan kurang menyenangkan, serta
kurang memberi ruang bagi siswa untuk mengartikulasikan diri sehingga memperoleh pengakuan
lingkungannya. Oleh sebab itu, KBK active learning akan menjadi aksentuasi dengan perluasan
pada model cooperative dan collaborative learning yang perancangan strategi serta sistem
penilaiannya dibicarakan dengan siswa yang dituangkan dalam bentuk kontrak belajar, sehingga
proses pembelajaran berjalan secara demokratis, dan menjangkau seluruh ranah yang diharapkan
dalam proses pembelajaran.
c. Demikian pula dengan penilaian; pada periode keberlakuan kurikulum 94, penilaian lebih
menekankan aspek kognitif dengan akumulasi antara nilai formatif, sumatif, sub-sumatif, serta
prosedur tes lainnya. Sementara pada kurikulum berbasis kompetensi penilaian harus dilakukan
secara variatif dan holistic tergantung kompetensi yang harus dicapainya. Untuk kompetensi
kognitif penilaian kognitif dengan menggunakan instrument tes, sedangkan kompetensi afektif
harus diukur dengan instrument pengukuran sikap yang di asses dengan instrument non-tes,
sementara adaptasi pengetahuan pada kebiasaan dinilai dengan instrument-instrumen observasi,
portofolio, serta model penilaian lainnya.


Gambar 4
Struktur Kompetensi Dalam KBK

Kompetensi Lulusan
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
I
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
II
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
III BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 11













Gambar 5

Pola Hubungan Kerja Unsur-Unsur Pendukung
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Antara Satu Dengan Lainnya









Sedangkan penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang dilakukan guru terhadap kemajuan siswa dalam
mencapai kompetensi yang diharapkan dan telah ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian tersebut perlu
dilakukan untuk memastikan bahwa siswa telah mengalami banyak perubahan sebagai hasil dari proses
pembelajarannya. Penilaian dilakukan secara individual dengan signifikansi sebagai berikut:
1. Untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan dari masing-masing siswa.
2. Untuk memonitor kemajuan siswa.
3. Menilai efektivitas proses pembelajaran.
4. Menilai efektivitas proses pembelajaran.
Gambar 6

Rangkaian Kegiatan Menuju Pola Belajar Tuntas Dikutif




Kurikulum dan
Hasil Belajar
Pengelolaan
KBS
Penilaian
Berbasis Kelas
Kegiatan
Pembelajaran
Kerangka
Dasar
KBK
Hasil Belajar
Hasil Belajar
Hasil Belajar BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 12




















d. Berbagai Pendekatan Dalam Penyusunan KBK
1. Relevansi
2. Kontinuitas
3. Fleksibel
Sementara itu, untuk pengembangan kurikulum ini, dalam prinsip KBK dikemukakan dalam
buku kebijakan pengembangan kurikulum madrasah, bahwa pengembangan kurikulum itu
harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai pendekatan sebagai
berikut (Mapenda, 2003).
1. Sistematis dan sistemik
2. Kemitraan
3. Pengembangan
4. Relevansi
5. Validasi.
5. Prosedur Pengembangan KBK di Tingkat Sekolah
1) Kompetensi Kognitif
a. Knowledge
b. Comprehension
c. Application
d. Analysis
e. Synthesis
f. Evaluation
2) Kompetensi Afektif
a. Receiving
b. Responding
c. Valuing
d. Organiazation
e. Characterization
3) Kompetensi Psikomotorik
a. Observing
b. Imitating
c. Practicing
d. Adapting






BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 13



Gambar

Kewenangan Masing-Masing Unit
Adaptasi Dari Wiles



















Gambar 8

Aspek-Aspek Yang Harus Dianalisis Dalam Pengembangan Kurikulum Adaptasi Dari Westmeyer














a. Penyiapan Peraturan Pemerintah
b. Penyiapan Standar kompetensi
tingkat nasional
c. Penyiapan anggaran

a. Penyesuaian buku teks
b. Penyesuaian aturan-aturan


a. Komite pendidikan
b. Pengalokasian anggaran
c. Fasilitasi pendidikan

a. Koordinasi program
b. Komite kurikulum
c. Pelayanan administrasi

a. Rancangan kompetensi dan
indikator kompetensi, serta
materi pelajaran
b. Perencanaan pembelajaran
c. Strategi pembelajaran dan
evaluasi

Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Propinsi
Pemerintah
Tingkat Kab.
Sekolah
Kelas/Guru

Harapan
Kurikulum
Masyarakat
Luas
Budaya Masyarakat Lokal
Disiplin Siswa BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 14



BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 15

Mengajar Yang Membelajarkan

MENGAJAR DAN BELAJAR
engajar, inilah kata kunci yang sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah proses pendidikan,
dan mengajar pulalah yang mendapat kritik keras dari Paulo Freire dengan model
pembelajaran pasif, yakni guru menerangkan, murid mendengarkan, guru mendiktekan, murid
mencatat, guru bertanya, murid menjawa, dan seterusnya. Paulo Freire menyebutnya dengan pendidikan
gaya bank, yakni pendidikan model deposito, guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan
serta berbagai pengalamannya pada siswa, siswa hanya menerima, mencatat dan mem-file semua yang
disampaikan guru. Pendidikan model bank tersebut menurut Freire merupakan salah satu bentuk
penindasan terhadap siswa-siswa, karena menghambat kreativitas dan pengembangan potensi mereka.
Pengajaran model itu terkadang juga disebut sebagai pendidikan gaya komando, dan menurut Muska
Mosston, gejala tersebut muncul dalam decade 60-an sampai 70-an, yang mengembangkan prinsip
distribusi sebuah keputusan harus dilakukan secara hierarkis, dari atas ke bawah, dari guru pada siswa.
Dalam pengajaran gaya komando, semua perencanaan ditentuakan oleh guru, disampaikan pada siswa,
dan siswa menerima pelajaran, mengubah perilaku sesuai dengan pelajaran baru. Akan tetapi, mereka
tidak terlibat dalam proses analisis untuk penerapan pengalaman baru tersebut pada konteks kehidupan
lain, dan lebih jauh lagi, mereka juga tidak terlibat dalam pembahasan feed back buat guru.
Pengajaran model gaya komando ini menurut Mosston merupakan salah satu bentuk akhir polarisasi
aliran behaviorisme, yang kemudian memperoleh kritik keras karena mamatikan semangat demokratisasi
dan mematikan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan kurang peduli terhadap keragaman siswa.
Oleh sebab itu, kemudian berkembang model task style, yakni belajar antara penugasan dan instructional,
dan diikuti kemudian dengan kemunculan berbagai model sampai kini muncul model collaborative and
cooperative learning yang dikembangkan oleh aliran psikologi developmental, yang menekankan pada
aktivitas siswa dan dibantu oleh guru. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang model mengajar
efektif untuk era reformasi saat ini, perlu diperjelas terlebih dahulu tentang apakah mengajar itu,
pengertian seperti apa yang akan digunakan untuk mengajar dalam konteks mendorong perwujudan
sekolah demokratis.
Sedangkan aliran psikologi kognitif memandang bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai strategi
untuk mencatat dan memperoleh berbagai informasi, siswa harus aktif menemukan informasi-informasi
tersebut, dan guru bukan mengontrol stimulus, tapi menjadi partner siswa dalam proses penemuan
berbagai informasi dan makna-makna dari informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang mereka
bahas dan kaji bersama. Aliran constructivisme yang dikembangkan dari psikologi kognitif ini
menekankan teorinya bahwa siswa amat berperan dalam menemukan ilmu baru.
Contructivisme adalah aliran yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada
empat komponen kunci, yaitu:
1. Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan pada
mereka.
2. Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya.
3. Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi social.
4. Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran.
Namun di tengah-tengah derasnya kritik terhadap behaviorisme, Kevin Wheldall dan Ted Glynn
mengembangkan sebuah paradigma behaviorisme dengan constructivisme, dengan argumentasi bahwa
disadari atau tidak, para guru telah dan terus menerapkan prinsip-prinsip behaviorisme dalam
pengembangan proses pembelajarannya di dalam kelas, namun mereka juga tidak mau tertinggal dengan
berbagai perkembangan terbaru dalam peningkatan efektifitas pembelajaran. Demikian dikemukakan
oleh Denis Child, editor buku Wheldall. Sedangkan teori-teori Kevin Wheldall dan Ted Glynn yang
mensintesiskan teori behaviorisme dengan contructivisme yang berbasis teori psikologi developmental,
adalah sebagai berikut:
Bab
4
M BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 16

Penggunaan metode-metode yang sesuai dengan kebutuhan analisis perilaku, yakni pelaksanaan
pembelajaran dengan menekankan prosedur yang sistematis, selalu mengulang pengukuran perilaku yang
termati, dan menggunakan berbagai strategi yang logis untuk mencapai perilaku yang diharapkan.
1. Mengenali, mengakui berbagai konteks dan keadaan serta lingkungan yang penting dan
mempengaruhi proses pembelajaran siswa. Berbagai strategi yang akan meningkatkan efektifitas
belajar siswa harus dikembangkan.
2. Berusaha untuk memaksimalkan penggunaan berbagai penguat natural, kapan saja sejauh akan
melahirkan konsekuensi positif untuk perubahan perilaku, dan mereka akan mampu melakukan
generalisasi dari berbagai pengalaman belajar mereka, dan mampu mengaplikasikannya pada
kehidupan yang lebih luas. Berbagai kemungkinan penguatan artificial harus digunakan secara selektif
jika belum terbukti bahwa penguatan tersebut cukup produktif.
3. Responsif terhadap berbagai data dari hasil penelitian aliran non-behavioural. Aliran behavioural
tidak boleh selalu mengklaim bahwa hasil penelitian alirannya yang dapat dipakai. Hasil -hasil
penelitian aliran lain seperti hasil penelitian aliran psikologi developmental merupakan sesuatu yang
sangat berarti untuk interaksi orang dewasa dan anak-anak dalam seting social yang natural. Berbagai
hasil penelitian dari aliran lain dapat memperkaya teori aliran behavioural dalam memperkaya
perumusan teori-teori tentang belajar mengajar.
4. Penekanan pada belajar interaktif. Aliran behavioural menghindari penjelasan satu arah dalam proses
pembelajaran, dan mengadaptasi teori interactive learning, yang mengakui bahwa guru harus
mengubah strategi sebagai respon terhadap pembelajar (siswa) saat terjadi perubahan perilaku belajar
pada siswa.
5. Selalu berusaha untuk membantu siswa, agar mereka dapat memberikan control yang lebih besar
terhadap proses belajarnya sendiri. Dalam upaya membantu siswa agar lebih independent dalam
belajar, kita harus mempersiapkan konteks belajar bagi mereka, dan mereka diberi kesempatan untuk
memberikan kontrol yang lebih besar terhadap proses belajarnya sendiri. Konsekuensinya, siswa
harus dibenarkan untuk memilih topic-topik belajar mereka, menentukan waktu dan konteks
interkatif belajar mereka, menentukan waktu dan konteks interaksi belajar mereka. Dengan demikian,
bahan-bahan belajar untuk anak-anak (yang sudah dipersiapkan) bisa menjadi sesuatu yang
bertentangan dalam pendekatan tersebut.
6. Memperluas program-program pendidikan tidak hanya program persekolahan tapi juga mencoba
menambah dan memperkuat siswa dengan membuka peluang bagi mereka untuk mempelajari
berbagai keahlian dan keterampilan akademik dan sosial yang sesuai dengan kehidupan nyata. Kami
tidak menganggap bahwa jawaban terbenar terhadap hasil pendidikan adalah yang terikat dengan apa
yang telah diberikan guru dan sekolah, tapi juga orang tua dan teman sebaya yang telah memberikan
banyak nilai pada mereka melalui interaksinya. Kontribusi mereka terhadap hasil belajar anak-anak
sangat besar yang tidak bisa dinilai.
7. Mendorong inisiatif yang dikembangkan oleh para siswa sendiri. Kami bermaksud untuk
mempersiapkan berbagai konteks yang dapat meningkatkan inisiatif para siswa dan yang dapat
mendorong para guru untuk meresponi inisiatif tersebut.
8. Menghargai setiap kesempatan belajar yang muncul dari berbagai kesalahan. Bahwa kesalahan-
kesalahan itu menyediakan kesempatan belajar yang amat berguna. Guru dan siswa harus sama-sama
mencari dan memperoleh informasi untuk mendapatkan strategi yang dibutuhkan untuk mengatasi
berbagai kesulitan dalam belajar. Metode aliran behavioural constructive merancang untuk
mendorong belajar tanpa kesalahan, dan melarang guru dan siswa untuk mengakses peluang berbagai
kesalahan tersebut.
9. Mengakui kompleksitas skil guru professional yang dibutuhkan oleh setiap guru. Kami benar-benar
menolak ide untuk mencoba menghasilkan bahan ajar yang dihasilkan guru yang dapat menurunkan
peran-peran profesionalisme guru. Riset-riset aliran behavioural kini terus berusaha untuk
melengkapi guru dengan berbagai keterampilan dan prosedur untuk dapat digunakan dalam praktik
secara langsung dalam menciptakan proses pembelajaran yang sesuai konteks bagi para siswa yang
adalam didikannya. Semuanya ini termasuk perumusan model yang mendekati perilaku akademik dan
social, dan mengembangkan kerjasama dengan orang tua, teman sebaya, serta para professional
dalam prosedur yang dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran siswa. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 17

Untuk menjadi warga yang cerdas, setiap anak harus di didik dibina agar memiliki berbagai keahlian, skil
dan keterampilan sesuai dengan talenta dan kemampuan yang mereka miliki. Gagasan besar tersebut
sangat mudah diucapkan namun sukar untuk dirumuskan secara definitive untuk mencoba menyusun
langkah-langkah yang akurat menuju ide-ide tersebut. Apakah smart citizen dengan berbagai kualifikasi
idealnya sebagaimana telah dikemukakan di atas, bisa dicapai dengan pengembangan kemampuan
kecerdasan dalam tahapan-tahapan kognitif seperti konsep Benjamin S. Bloom, yakni pengembangan
kemampuan berpikir pada enam (6) level, dari mengenal, memahami, mengaplikasi, analisis, membuat
sintesis dan melakukan evaluasi, yang kemudian diinternalisasi dengan perlakuan afektif dan dibiasakan
dengan perlakuan psikomotorik. Pertanyaan besar ini masih terus diwacanakan di kalangan para peneliti
dan peminat pendidikan. Salah satu hipotesisnya adalah kecerdasan seseorang, dalam sains dan teknologi
tidak menjamin kesuksesan karir hidup dengan kemampuannya itu, tanpa diperkuat kecerdasan-
kecerdasan lainnya yang diperlukan untuk mengembangkan kemitraan dengan orang lain,
mengembangkan kepercayaan diri, serta berbagai kemampuan komunikasi verbal dan non-verbal yang
diperlukan dalam artikulasi keilmuannya. Oleh sebab itu, Donald P. Kauchak mengangkat teori multiple
intelligence yang dikutipnya dari hasil penelitian Howard Gardner, yakni kecerdasan seseorang tidak
hanya diukur dengan tingkat intelligence question yang hanya mengukur tiga variable, yakni berpikir
abstrak dan rasional, kemampuan penyelesaian masalah, dan kemampuan penguasaan pengetahuan, tapi
dalam berbagai aspek yang sangat diperlukan dalam pengembangan kehidupan ke depan. Menurut
Howard Gardner, terdapat tujuh (7) variable yang bisa diukur untuk melihat kecerdasan seseorang, yakni:
1. Linguistic intelligence
2. Logical-mathematical intelligence
3. Misical intelligence
4. Spatial intelligence
5. Bodily-kinesthetic intelligence
6. Interpersonal intelligence
7. Intrapersonal intelligence















Gambar 9

Model Pembelajaran Problem Solving
Adaptasi Dari Donal P. Kauchak













Identifikasi Masalah
Merumuskan Masalah
Pemilihan Strategi
Pemilihan Strategi
Evaluasi Hasil BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 18

Model belajar problem solving tersebut, kini sudah mulai dikembangkan dengan modelpembelajaran
portofolio. Pembelajaran dengan outcome level tertinggi lainnya adalah pengembangan criticak thinking
yakni kemampuan berpikir kritis, yang bisa dikembangkan sejak dini, dan tidak tergantung pada tingkat
intelligence question, namun pada intensitas pembinaan dan kebiasaan melatih anak berpikir kritis.
Kenneth D Moore (moore, 2001: 113) memberikan ilustrasi bahwa berpikir kritis itu lebih kompleks
daripada berpikir biasa, karena berpikir kritis berbasas pada standar objektivitas dan konsisten. Guru,
menurutnya pula, harus membiasakan siswa untuk mengubah pola berpikirnya, yakni:
1. Dari menduga menjadi mengestimasi.
2. Dari memilih menjadi mengevaluasi
3. Dari pengelompokan menjadi pengklasifikasian.
4. Dari percaya menjadi menduga.
5. Dari penyimpulan dengan dugaan pada penyimpulan secara logis.
6. Dari selalu menerima konsep pada mempertanyakan konsep.
7. Dari menduga menjadi menghipotesis.
8. Dari menawarkan pendapat tanpa alas an pada penawaran pendapat dengan argumentasi.
9. Dari membuat putusan tanpa criteria pada pembuatan putusan dengan criteria.
Secara umum ada empat tahap dalam peningkatan kebiasaan berpikir kreatif yang bisa dikembangkan
pada berbagai aktivitas belajar siswa, yakni:
1. Persiapan, yakni proses pengumpulan berbagai informasi untuk diuji (sebagai sebuah opsi dalam
penyelesaian masalah, jika kreativitas ini dikembangkan untuk menyelesaikan masalah). Pemikir
kreatif akan mempertanyakan dan menginvestigasi hubungan antara kejadian, ide dan tujuan, sampai
dia memperoleh sebuah hipotesis.
2. Inkubasi, yakni suatu rentang waktu untuk merenungkan hipotesis tersebut sampai dia memperoleh
sebuah keyakinan bahwa hipotesisnya itu sangat rasional. Masa inkubasi ini bisa dipersingkat.
3. Iluminasi, yakni fase kecerahan saat pemikir memperoleh keyakinan benar bahwa hipotesisnya itu
yang paling kuat dan paling benar.
4. Verifikasi, yakni pengujian kembali hipotesisnya untuk dijadikan sebuah rekomendasi perbaikan atau
perubahan berdasarkan hasil temuan baru. Verifikasi ini memerlukan data yang dapat menguji
rumusan hipotesisnya itu.









Gambar 10

Tahapan Prosedur Berpikir Kreatif












Tabel 11
Tabel Taxonomy Of Thinking

Identifikasi Masalah
Iluminasi
Inkubasi
Verifikasi
BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 19

No Jenis Kegiatan Indikator-Indikator Kecakapan
01 Kemampuan Berpikir
Strategis
a. Kemampuan
menyelesaikan
masalah



b. Kemampuan
membuat
keputusan


Mengenali masalah, merumuskan
masalah, menyusun pilihan-pilihan
penyelesaian masalah, melaksanakan
rencana penyelesaian masalah, dan
mengevaluasi hasil penyelesaian
masalah
Mampu merumuskan tujuan, kemam-
puan mengidentifikasi beberapa
alternatif, kemampuan menganalisis
alternatif, kemampuan mengambil
keputusan terhadap pilihan terbaik,
dan memilih satu pilihan sebagai
sebuah putusan akhir

02 Kemampuan Berpikir
Kritis
Mampu membedakan antara fakta
yang biasa diverifikasi dengan
tuntutan nilai, mampu membedakan
antara informasi, alasan, dan tuntutan-
tuntutan yang relevan dengan yang
tidak relevan, mampu menetapkan
fakta yang akurat, mampu menetap-
kan sumber yang memiliki kredibilitas,
mampu mengidentifikasi tuntutan dan
argumen-argumen yang ambiguistik,
mampu mengidentifikasi asumsi-
asumsi yang tidak diungkapkan,
mampu menditeksi bias, mampu
mengidentifikasi logika-logika yang
keliru, mampu mengenali logika yang
tidak konsisten, dan mampu menetap-
kan argumentasi atau tuntutan yang
paling kuat.
03 Kemampuan
Memproses Informasi
Kemampuan untuk mengingat dan
mengutarakan kembali sebuah
informasi, kemampuan menerjemah-
kan informasi, kemampuan menafsir-
kan informasi, kemampuan mengapli-
kasikan informasi, kemampuan meng-
analisis, membandingkan dan
mengklasifikasi informasi, kemampu-
an mensintesiskan informasi, kemam-
puan mengevaluasi, dan kemampuan
menyimpulkan, dengan pendekatan
induktif, deduktif maupun analogis.





Gambar 11
Siklus Perencanaan Pembelajaran




Penetapan Content/
Penetapan Kembali
Conten
Penulisan Tujuan
Pembelajaran
Pemaparan
Perencanaan
Pembelajaran

Evaluasi
Penutupan/Proses
Pembelajaran
Pemilihan
Strategi
1/7 2 3
6 5 4 BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 20










Gambar 13

Beberapa Pilihan Pengayaan
Bagi Siswa-Siswa Yang Cepat Menyelesaikan Tugas

No Jenis Kegiatan Indikator-Indikator Kecakapan

01

Membaca bebas

Rak buku atau masalah disiapkan
dibelakang ruangan kleas untuk
sewaktu-waktu dipergunakan oleh
siswa untuk membaca dalam rangka
pengayaan kemampuan keilmuan
mereka.

02 Permainan Sbahagiaan ruangan kelas
dikosongkan, dan para bisa melakukan
permainan game akademik sesuai
mata pelajaran yang mereka pelajari.


03 Komputer Guru mempersiapkan berbagai menu
berupa software game atau simulasi
yang terkait dengan pelajaran, dan
dapat digunakan oleh siswa untuk
menghabiskan waktu luangnya setelah
menyelesaikan tugas-tugasnya.

04 Pusat belajar. Berupa bahan-bahan ajar yang
disiapkan guru, dan sudah lengkap
dengan tujuan learning guidenya.

05 Riset Individual
(Project)
Dalam mengisi waktu luangnya,m
siswa juga bisa mengerjakan tugas riset
individualnya.

06 Peer Tutoring Tutorial sebaya, yakni mereka yang
telah memiliki pemahaman baik
tentang bahan ajar, ditugaskan oleh
guru untuk mendampingi mereka yang
belum memiliki pemahaman baik
tentang tugas-tugas dalam proses
pembelajarannya.


Berbagai strategi dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dalam rangka
meningkatkan hasil, dengan pendekatan pendidikan yang sangat mempertimbangkan multikultur, yaitu:
1. Siswa harus diberi kepercayaan.
2. Hargai latar belakang kultur mereka. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 21

3. Tingkatkan partisipasi keluarga.
4. Bantu siswa-siswa dalam mengembangkan skil sosialnya.
5. Gunakan strategi pembelajaran interaktif.
6. Ajarkan mereka dengan adil dan penuh perhatian.
7. Pahami siswa-siswa anda.
8. Buang sikap anti toleransi.
9. Refleksikan kultur Anda sendiri.
10. Bacalah literature-literatur multikultur.
11. Sampaikanlah pertanyaan-pertanyaan berkualitas tinggi untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis siswa.
12. Sediakan peluang akses yang sama bagi semua siswa.
13. Kurangi sikap prejudice (prasangka) dan pahami hak-hak mereka.
14. Tentukan teks yang dibutuhkan.


Gambar 14
Struktur Kompetensi
















Tabel 3

Tabel Indikator
Kompetensi Setiap Level Dari Setiap Ranah
Adaptasi Contoh Kenneth D. Moore

No Ranah Level Kecakapan Indikator Kecakapan

01

Kognitif

Knowledge
(Mengetahui dan
mengingat)

Menyebutkan, menuliskan, menyata-
kan, mengurutkan, mengidentifikasi,
mendifinisikan, mencocokan, mena-
mai, melabeli, menggambarkan.
02 Cimprehension
(Pemahaman)
Menerjemahkan, mengubah, meng-
generalisasi, menguraikan (dengan
kata-kata sendiri), menulis ulang
(dengan kalimat sendiri) meringkas,
membedakan (diantara dua),
mempertahankan, menyimpulkan,
Kompetensi Lulusan
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
I
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
II
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
III
PB
I
PB
II
PB
III
PB
I
PB
II
PB
III
PB
I
PB
II
PB
III BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 22

berpendapat, dan menjelaskan.
Application
(Penerapan ide)
Mengoperasikan, menghasilkan,
mengubah, membatasi, mengguna-
kan, menunjukkan, mempersiapkan,
dan menghitung.
Analysis
(Kemampuan
menguraikan)
Menguraikan satuan menjadi unit-
unit yang terpisah, membagi satuan
menjadi sub-sub atau bagian-
bagian, membedakan antara dua
yang sama, memilih, dan mengenai
perbedaan (diantara beberapa yang
dalam satu kesatuan)
Synthesis
(Unifikasi)
Merancang, merumuskan, meng-
organisasikan, mengompilasikan,
mengomposisikan, membuat
hipotesis, dan merencanakan.
Evaluation
(Menilai)

Mengkritisi, mengintepretasi, men-
jastifikasi dan memberikan penilaian
02 Afektif Receving
(Penerimaan)
Mempercayai (sesuatu atau
seseorang untuk diikuti), memilih
(seseorang atau sesuatu untuk
diikuti), mengikuti, bertanya (untuk
diikuti), dan mengalokasikan.
Responding
(Tanggapan)
Mengkonfirmasi, memebri jawaban,
membaca (pesan-pesan), mem-
bantu, melaksanakan, melaporkan,
dan menampilkan.
Valuing
(Penanaman nilai)
Menginisiasi, mengundang (orang
untuk terlibat), terlibat, mengusulkan
dan melakukan.
Chaaracterization
(Karakterisasi
kehidupan)
Menggunakan nilai-nilai sebagai
pandangan hidup worldview), mem-
pertahankan nilai-nilai yang sudah
diyakini.
03 Psikomotorik Oberving
(Memperhatikan)
Mengamati proses, memberi per-
hatian pada tahap-tahap sebuah
perbuatan, memebri perhatian pada
sebuah artikulasi.
Imitation
(Peniruan)
Melatih, mengubah sebuah bentuk,
membongkar sebuah struktur,
membangun kembali sebuah
struktur, dan menggunakan sebuah
konstruk, atau model.
Practicing
(Pembiasaan)
Membiasakan sebuah model atau
perilaku yang sudah dibentuknya.
Mengontrol kebiasaan agar tetap
konsisten.
Adapting
(Penyesuaian)
Menyesuaikan model, membenar-
kan sebuah model untuk
dikembangkan, dan menyekutukan
model pada kenyataan.


Evaluasi merupakan bagian yang juga penting dalam pembelajaran efektif, yakni guru harus
menyelenggarakan evaluasi di akhir setiap sesi pelajaran, baik untuk melihat efektifitas strategi yang dia
kembangkan, maupun untuk mengukur hasil belajar siswa yang dapat dijadikan input untuk perencanaan
pembelajaran berikutnya. Jika guru tidak mempunyai data tentang keberhasilan hari itu, dia tidak akan BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 23

memiliki informasi yang cukup dalam perencanaan berikutnya, sehingga tragedy penumpukkan
akumulasi ketidakpahaman siswa juga akan terulang, dan sekolah akan terus dikritik oleh client-nya
karena meluluskan siswa dengan nilai di bawah standar minimal penguasaan bahan ajar.
Model perencanaan prosedur pembelajaran yang di tawarkan Hunts memuat aspek-aspek sebagai
berikut:
Pokok Bahasan,
Sub-Pokok Bahasan
Tujuan umum (dalam model terakhir, kompetensi),
Tujuan khusus, (indicator kompetensi)
Prosedur dan Materi:
1. Review, melakukan diskusi singkat tentang pelajaran lalu dan hubungannya dengan yang akan
dipelajari hari ini.
2. Overview, menjelaskan outline bahan-bahan ajar hari itu untuk didiskusikan.
3. Presentation, menjelaskan inti pelajaran hari itu dengan telling, showing dandoing.
4. Exercise, yakni memberikan kesempatan pada siswa untuk melatihkan apa yang telah mereka pahami
dalam proses pembelajaran.
5. Summary, terakhir merumuskan summary.




Gambar 13
Alur Komunikasi Kelas






Sementara itu Kennet D. Moore secara realitas memberikan pandangan, bahwa tidak semua guru
memiliki bakat pembicara yang baik, namun mereka harus menjadi komunikator yang efektif. Untuk itu,
guru harus melatih vokalnya dan irama penyampaian pelajarannya, sehingga tidak sekadar efektif
menyampaikan pesan, tapi juga nikmat untuk didengar. Sejalan dengan pandangannya itu, Moore
membagi komunikasi verbaluntuk proses pembelajaran ini menjadi dua, yaitu verbal learning dan vocal
learning. Verbal learning adalah proses pembelajaran yang dilakukan siswa dengan memahami apa yang
disampaikan guru melalui kata-kata yang diucapkannya. Dalam konteks ini, guru menyampaikan pesan-
pesan pembelajarannya, serta berbagai uraian tentang bahan ajar dengan menggunakan bahasa lisan
sesuai kemampuan dan kebiasaannya dia berbicara. Oleh sebab itu, tingkat pemahaman siswa sangat
dipengaruhi oleh beberapa factor sebagai berikut.
1. Pengorganisasian bahan ajar, semakin baik bahan-bahan uraian itu terorganisasikan, maka akan
semakin baik tingkat pemahaman siswa terhadap bahan-bahan tersebut.
2. Kejelasan kata, yakni menggunakan kata-kata yang jelas dan bermakna pasti hanya satu makna, lebih
baik daripada menggunakan kata-kata bermakna ganda, sehingga pemahaman siswa sesuai dengan
maksud yang diucapkan oleh gurunya. Namun tidak boleh untuk memaksakan penggunaan kata-kata
yang jelas dengan mengabaikan inti pesan.
Siswa Sebagai
Sasaran Komunikasi
Guru Sebagai
Sumber Komunikasi
Pesan Terpilih Untuk
Disampaikan
Pesan Diterima Guru, dan
Guru Menyusun Ulang Pesan
Tersebut
Siswa Bereaksi, dan
Mengirim Pesan Ulang pada
Guru BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 24

3. Untuk mempermudah pemahaman, sebaiknya informasi diperjelas dengan contoh-contoh dua arah,
arah yang dimaksud dan arah yang tidak dimaksud, atau contoh yang salah, supaya siswa memahami
dengan baik maksud pesan yang disampaikan.
Inilah makna verbal learning dan upaya-upaya peningkatan efektifitasnya dalam belajar. Sedangkan vocal
learning adalah proses pembelajaran yang dialkukan siswa dengan memahami pesan-pesan yang
diucapkan guru dengan tempo yang sedang, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat, tinggi
rendah nada suara yang diatur, dan intonasinya disesuaikan dengan pesan yang disampaikan. Penggunaan
vocal yang baik, intonasi yang pas, tempo yang sedang dan ritme yang sesuai dengan alur pesan akan
membantu efektifitas penyamapain pesan dalam proses pembelajaran, dan membantu pemahaman siswa
terhadap pesan-pesan yang dibawakan guru tersebut.
Kemudian dari itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa komunikasi guru dengan siswanya,
juga bisa menggunakan model komunikasi non-verbal, yakni komunikasi yang tidak menggunakan kata-
kata, tidak bisa didengar dan juga tidak bisa dibaca dalam uraian kata-kata tertulis. Komunikasi non-
verbal hanya bisa dipahami dari berbagai isyarat gerakan anggota tubuh yang mengekpresikan sebuah
pesan. Setidaknya ada tujuh (7) bentuk gerakan tubuh yang biasa dan bisa digunakan guru dalam
berkomunikasi dengan siswa-siswanya, yakni sebagaimana terlihat dalam diagram berikut ini:


Gambar 15
Macam-Macam Model Komunikasi Non-Verbal Dalam Kelas



















Daftar Pustaka: Dr. Dede Rosyada, MA, Paradigma Pendidikan Demokratis, “Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat DdalamPenyelenggaraan Pendidikan”, Kencana, 2004.


Simbol Bahasa
Non-Verbal
Kinesis
Gerakan Tubuh
Proxemics
Menggunakan Jarak
Kinesis
Gerakan Tubuh
Environmental
Factors
Chronemics
Menggunakan Waktu
Paralanguage
Menggunakan Suara
Oculasics
Menggunakan Mata Baca Selanjutnya..
Labels : news investment systems Anti Vir free template car body design

KARYA TULIS

Bab I Pengembangan Profesi dan KTI

1.1. Bagaimana kaitan KTI dengan pengembangan profesi guru?
Keputusan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara nomor 84/1993 penetapan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, serta Keputusan bersama Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Kepala BAKN Nomor 0433/P/1993, nomor 25 tahun 1993 tentang Petunjuk Pelaksanaan Jabatan Fungsional Guru dan Angka Kreditnya, pada prinsipnya bertujuan untuk membina karier kepangkatan dan profesionalisme guru
Pada aturan tersebut, di antaranya dinyatakan bahwa untuk keperluan kenaikan pangkat/jabatan Guru Pembina /Golongan IVa ke atas, diwajibkan adanya angka kredit yang harus diperoleh dari Kegiatan Pengembangan Profesi.
Melalui sistem angka kredit itu, diharapkan dapat diberikan penghargaan secara lebih adil dan lebih professional terhadap pangkat guru, yang merupakan pengakuan profesi dan kemudian akan meningkatkan pula tingkat kesejahteraannya.
Pengembangan profesi terdiri dari 5 (lima) macam kegiatan, yaitu: (1) menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI), (2) menemukan Teknologi Tepat Guna, (3) membuat alat peraga/bimbingan,(4) menciptakan karya seni dan (5) mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.
Sehingga membuat Karya Tulis Ilmiah (KTI) merupakan salah satu macam kegiatan yang dapat dilakukan guru dalam pengembangan profesinya.
1.2. Apakah KTI satu-satunya kegiatan pengembangan profesi guru?
Tidak. Berbeda dengan anggapan umum, menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) BUKAN merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi guru.
Namun, dengan berbagai alasan, antara lain karena belum jelasnya petunjuk operasional pelaksanaan dan penilaian dari kegiatan selain menyusun KTI, maka pelaksanaan kegiatan pengembangan profesi sebagian terbesar dilakukan melalui KTI.

1.3. Apa yang dimaksud dengan Karya Tulis Ilmiah (KTI)?
KTI adalah laporan tertulis tentang (hasil) kegiatan ilmiah. Karena kegiatan ilmiah itu banyak macamnya, maka laporan kegiatan ilmiah (= KTI) juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk laporan penelitian, tulisan ilmiah populer, buku, diktat dan lain-lain.
KTI pada kegiatan pengembangan profesi guru, terdiri dari 7 (tujuh) macam, dengan rincian sebagai berikut:
No Macam KTI Macam publikasinya Angka kredit
1 KTI hasil penelitian, pengkajian, survei dan atau evaluasi Berupa buku yang diedarkan secara nasional 12,5
Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada majalah ilmiah yang diakui oleh Depdiknas 6,0
Berupa buku yang tidak diedarkan secara nasional 6,0
Berupa makalah 4,0
2 KTI yang merupakan tinjuan atau gagasan sendiri dalam bidang pendidikan Berupa buku yang diedarkan secara nasional 8,0
Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada majalah ilmiah yang diakui oleh Depdiknas 4,0
Berupa buku yang tidak diedarkan secara nasional 7,0
Berupa makalah 3,5
3 KTI yang berupa tulisan ilmiah popular yang disebarkan melalui media masa Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada media masa 2,0
4 KTI yang berupa tinjuan, gagasan, atau ulasan ilmiah yang disampaikan sebagai prasaran dalam pertemuan ilmiah Berupa makalah dari prasaran yang disampaikan pada pertemuan ilmiah 2,5
5 KTI yang berupa buku pelajaran Berupa buku yang bertaraf nasional 5
Berupa buku yang bertaraf propinsi 3
6 KTI yang berupa diktat pelajaran Berupa diktat yang digunakan di sekolahnya 1
7 KTI yang berupa karya terjemahan Berupa karya terjemahan buku pelajaran/ karya ilmiah yang bermanfaat bagi pendidikan 2.5

Meskipun berbeda macam dan besaran angka kreditnya, semua KTI (sebagai tulisan yang bersifat ilmiah) mempunyai kesamaan, yaitu:
• hal yang dipermasalahkan berada pada kawasan pengetahuan keilmuan
• kebenaran isinya mengacu kepada kebenaran ilmiah
• kerangka sajiannya mencerminan penerapan metode ilmiah
• tampilan fisiknya sesuai dengan tata cara penulisan karya ilmiah
Salah satu bentuk KTI yang cenderung banyak dilakukan adalah KTI hasil penelitian perorangan (mandiri) yang tidak dipublikasikan tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah (angka kredit 4).
1.4. Bagaimana hubungan KTI dengan Penelitian?
Penelitian merupakan kegiatan ilmiah. Sehingga, laporan hasil penelitian juga merupakan Karya Tulis Ilmiah.
Bahkan, KTI yang merupakan laporan hasil penelitian, merupakan bagian penting dari macam KTI yang dapat dibuat oleh guru, widyaiswara maupun pengawas, sebagaimana tampak pada tabel berikut.
guru widyaiswara pengawas
• KTI hasil penelitian
• KTI tinjauan/ulasan ilmiah
• Tulisan Ilmiah Populer
• Prasaran disampaikan dalam pertemuan ilmiah
• Buku
• Diktat
• Karya terjemahan • KTI hasil penelitian
• KTI tinjauan/ulasan ilmiah
• Tulisan Ilmiah Populer
• Prasaran disampaikan dalam pertemuan ilmiah
• Buku
• Karya terjemahan
• Orasi ilmiah sesuai dengan bidang yang diajarkan • KTI hasil penelitian
• KTI tinjauan/ulasan ilmiah
• Tulisan Ilmiah Populer
• Prasaran disampaikan dalam pertemuan ilmiah


1.5. Mengapa KTI Penelitian Diminati?
Salah satu bentuk KTI yang akhir-akhir ini, cenderung banyak dilakukan oleh para guru adalah KTI hasil penelitian perorangan yang tidak dipublikasikan, tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah. KTI jenis ini mempunyai nilai angka kredit 4 (empat).
KTI yang berupa laporan hasil penelitian tersebut cenderung diminati di antaranya karena:
1. Para guru makin memahami bahwa salah satu tujuan kegiatan pengembangan profesi, adalah dilakukannya kegiatan nyata di kelasnya yang ditujukan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil pembelajarannya. Bagi sebagian besar guru, melakukan kegiatan seperti itu, sudah terbiasa dilakukan
2. Kegiatan tersebut, harus dilaksanakan dengan menggunakan kaidah-kaidah ilmiah, karena hanya dengan cara itulah, mereka akan mendapat jawaban yang benar secara keilmuan terhadap apa yang ingin dikajinya.
3. Apabila kegiatan tersebut dilakukan di kelasnya, maka kegiatan tersebut dapat berupa penelitian tindakan yang semakin layak untuk menjadi prioritas kegiatan. Kegiatan nyata dalam proses pembelajaran, dapat berupa tindakan untuk “menerapkan” hal-hal “baru” dalam praktik pembelajarannya. Berbagai inovasi baru dalam pembelajaran, memerlukan verifikasi maupun penerapan dalam proses pembelajaran.

1.6. Mengapa PTK Disarankan Sebagai Pengembangan Profesi ?

Penelitian Tindakan Kelas (PTK), disarankan dilakukan guru dalam upaya menulis KTI karena:

• KTI tersebut merupakan laporan dari kegiatan nyata yang dilakukan para guru di kelasnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajarannya – (ini tentunya berbeda dengan KTI yang berupa laporan penelitian korelasi, penelitian diskriptif, ataupun ungkapan gagasan, yang umumnya tidak memberikan dampak langsung pada proses pembelajaran di kelasnya), dan
• Dengan melakukan kegiatan penelitian tersebut, maka para guru telah melakukan salah satu tugasnya dalam kegiatan pengembangan profesionalnya.
Laporan PTK yang apabila dilakukan dengan baik dan benar akan mendapat penghargaan berupa angka kredit. Selanjutnya angka kredit tersebut dapat dipakai untuk melengkapi persyaratan kenaikan golongan kepangkatannya.


1.7. Apa macam KTI Laporan Penelitian?
Laporan hasil penelitian tersebut dapat disajikan dalam berbagai bentuk, antara lain:
No Macam bentuk publikasi laporan hasil penelitian Angka kredit
1 Berupa buku yang diedarkan secara nasional. Buku yang diterbitkan dan diedarkan secara nasional yang ditulis berdasar hasil penelitian yang dilakukan oleh guru, masih sangat terbatas jumlahnya. Sangat jarang guru mengirimkan KTI dalam bentuk ini. 12,5
2 Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada majalah ilmiah (jurnal) yang diakui oleh Depdiknas. Masing-masing jurnal ilmiah umumnya mempunyai persyaratan dan tata cara penulisan artikel hasil penelitian yang spesifik dan berlaku untuk jurnal yang bersangkutan. KTI yang diajukan guru dalam bentuk publikasi ini, akhir-akhir ini semakin meningkat jumlahnya. 6,0
3 Berupa buku yang tidak diedarkan secara nasional. Buku yang ditulis berdasar hasil penelitian yang dilakukan oleh guru, yang tidak diederkan secara nasional juga masih sangat terbatas jumlahnya. 6,0
4 Berupa makalah yang disimpan di perpustakaan. Inilah bentuk laporan hasil penelitian yang paling banyak diajukan sebagai Karya Tulis Ilmiah oleh para guru. 4,0
5 Berupa tulisan (artikel ilmiah) yang dimuat pada media masa. Meskipun cukup banyak tulisan ilmiah popular diajukan sebagai KTI, namun yang merupakan laporan hasil penelitian, sangat terbatas jumlahnya. 2,0
6 Berupa makalah dari prasaran yang disampaikan pada pertemuan ilmiah. Meskipun cukup banyak makalah berupa prasasran diajukan sebagai KTI, namun yang merupakan makalah prasaran berdasarkan laporan hasil penelitian, sangat terbatas jumlahnya. 2,5
Dari 6 (enam) macam KTI hasil penelitian di atas, KTI yang paling banyak dibuat oleh guru adalah yang berupa makalah yang disimpan di perpustakaan (dengan angka kredit 4).

1.8. Adakah permasalahan dalam pengumpulan angka kredit?
Paling tidak terdapat dua fakta dalam pengumpulan angka kredit, yaitu :
(a) Pengumpulan angka kredit untuk kenaikan dari golongan IIIa sampai dengan golongan IVa, relatif lancar. Pada jenjang tersebut, angka kredit yang wajib dikumpulkan hanya dari tiga macam bidang kegiatan guru, yakni (1) pendidikan, (2) proses pembelajaran, dan (3) penunjang proses pembelajaran.
Angka kredit dari bidang pengembangan profesi, belum merupakan persyaratan wajib.
Akibat “longgarnya” proses kenaikan pangkat itu, tujuan pemberian penghargaan secara lebih adil dan lebih profesional terhadap peningkatan karir kurang dapat dicapai secara optimal.
Longgarnya seleksi peningkatan karir, juga menyulitkan untuk membedakan antara mereka yang berpretasi dan kurang atau tidak berprestasi.
Lama kerja lebih memberikan urunan yang siginifikan pada kenaikan pangkat. Kebijakan itu seolah-olah berupa kenaikan pangkat yang mengacu pada lamanya waktu kerja, dan kurang mampu memberikan evaluasi pada kinerja profesional.
(b) Permasalahan kedua, berbeda dan bahkan bertolak belakang dengan keadaan di atas. Proses kenaikan dari golongan IVa ke atas relatif berjalan “lambat”
Pada kenaikan pangkat golongan IVa ke atas tersebut, diwajibkan adanya pengumpulan angka kredit dari unsur Kegiatan Pengembangan Profesi.
Angka kredit kegiatan pengembangan profesi –berdasar aturan yang berlaku saat ini— dapat diperoleh melalui kegiatan :
1. menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI),
2. menemukan Teknologi Tepat Guna,
3. membuat alat peraga/bimbingan,
4. menciptakan karya seni dan
5. mengikuti kegiatan pengembangan kurikulum.
Sementara itu, tidak sedikit guru dan pengawas yang “merasa” kurang mampu melaksanakan kegiatan pengembangan profesinya (= yang dalam hal ini membuat KTI) sehingga menjadikan mereka enggan, tidak mau, dan bahkan apatis terhadap pengusulan kenaikan golongannya. Terlebih lagi dengan adanya pendapat bahwa kenaikan pangkat/golongannya belum memberikan peningkatkan kesejahteraan yang signifikannya,
Akibat dari hal di atas menjadikan permasalahan
(a) Banyak guru yang telah lama berada di golongan IVa, dan mereka sangat ingin segera naik pangkat. Baik mereka yang memenuhi persyaratan, ataupun tidak. Baik yang berprestasi, maupun tidak.
(b) Dirasakan kewajiban pengumpulan angka kredit dari Kegiatan Pengembangan Profesi memberatkan dan membuat proses kenaikkan pangkat TIDAK LAGI selancar proses kenaikkan pangkat sebelumnya.
(c) proses kenaikan pangkat sebelumnya – dari golongan IIIa ke IVa yang “relatif lancar”, menjadikan “kesulitan” memperoleh angka kredit dari kegiatan pengembangan profesi, sebagai “hambatan yang merisaukan
(d) Masih sangat banyak guru yang membutuhkan peningkatan kemampuan dan kemauannya agar dapat melakukan kegiatan Pengembangan Profesi dengan baik dan benar.
(e) Adanya berbagai isu negatif berkaitan dengan kenaikka ke pangkat IVb ke atas, seperti misalnya : ada kuota penjatahan, perlu melalui jalan samping, dan lain-lain.
(f) Banyak guru yang telah mencoba mengumpulkan angka kredit pengembangan profesi, dan yang terbanyak melalui KTI, tetapi KTI nya tidak memenuhi syarat dan TIDAK dapat diberi nilai.


Bab II Menilai KTI
2.1. Mengapa banyak KTI belum memenuhi syarat?
Berdasar pengalaman dalam proses penilaian, terdapat hal-hal sebagai berikut...
(a) Tidak sedikit dari KTI yang diajukan, merupakan JIPLAKAN, KTI orang lain yang dinyatakan sebagai karyanya, atau bahkan KTI yang DIBUATKAN oleh orang lain
KTI jenis ini umumnya diambil (dijiplak) dari skripsi, tesis atau laporan penelitian orang lain. Indikasi tentang hal tersebut seringkali dapat dengan mudah terdeteksi, misalnya dari data yang tidak konsisten, tulisan yang tidak sama, dan lain-lain. Namun sering juga sangat sulit diketahui, meskipun ada “rasa” yang menyatakan bahwa KTI tersebut bukan karya sendiri (misalnya: KTI itu sangat berbeda kualitasnya dengan KTI yang lain dari guru yang sama, atau sangat akademik, dan lain-lain)
KTI jenis ini juga ditandai dari sangat miripnya satu KTI dengan KTI yang lain, baik yang diajukan oleh guru yang bersangkutan, atau oleh guru-guru lain di daerah sekitarnya. Umumnya KTI ini mempunyai kesamaan pada kata pengantar, daftar isi, abstrak, teori, daftar pustaka yang sama baik font, ukuran huruf, kata-demi-kata, kalimat dan lain-lain. Dari pengalaman telah dapat terdeteksi daerah-daerah tertentu yang menggunakan biro jasa pembuatan KTI
(b) Banyak pula KTI yang berisi uraian hal-hal yang terlalu umum. KTI yang tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pengembangan profesinya.
Mengapa demikian? Karena KTI semacam itulah yang paling mudah ditiru, dipakai kembali oleh orang lain dengan cara mengganti nama penulisnya.
Contoh KTI yang berjudul Membangun karakter bangsa melalui kegiatan ekstra kurikuler. KTI ini sama sekali tidak memaparkan hal spesifik yang berkaitan dengan permasalahan yang ada di sekolah atau kelasnya. Sehingga meskipun KTI berada dalam bidang pendidikan, dan tidak ada yang salah dari apa yang dituliskan, tetapi bagaimana dapat diketahui bahwa KTI tersebut adalah karya guru yang bersangkutan.
KTI yang berjudul Peranan perpustakaan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa, juga sangat sering dibuat oleh guru.
KTI di atas tidak menjelaskan permasalahan spesifik yang berkaitan dengan tugas dan tanggung jawab guru. Jadi, meskipun KTI berada dalam bidang pendidikan tetapi (a) apa manfaat KTI tersebut dalam upaya peningkatan profesi guru?, (b) bagaimana dapat diketahui bahwa KTI tersebut adalah karya guru yang bersangkutan?

2.2. Bagaimana kriteria KTI yang dapat dinilai?
KTI dapat dinilai apabila telah memenuhi kriteria dan persyaratan yang ditetapkan. Di samping memakai berbagai kriteria penulisan karya tulis ilmiah yang umum dipergunakan, terdapat beberapa kriteria dan persyaratan yang khusus yang digunakan untuk menilai KTI dalam pengembangan profesi guru (untuk itu lihat peraturan dan pedoman yang telah dikeluarkan oleh Diknas, yang berkaitan dengan hal ini)
KTI dalam kegiatan pengembangan profesi juga harus memenuhi kriteria “APIK,” yang artinya adalah
 A sli, penelitian harus merupakan karya asli penyusunnya, bukan merupakan plagiat, jiplakan, atau disusun dengan niat dan prosedur yang tidak jujur. Syarat utama karya ilmiah adalah kejujuran.
KTI yang tidak “asli “ dapat terlihat antara lain melalui,
 terdapat bagian-bagian tulisan, atau petunjuk lain yang menunjukkan bahwa KTI itu dirubah di sana-sini dan digunakan sebagai KTI nya (seperti misalnya: bentuk ketikan yang tidak sama, tempelan nama, terdapat petunjuk adanya lokasi dan subyek yang tidak konsisten, terdapat tanggal pembuatan yang tidak sesuai, terdapat berbagai data yang tidak konsisten, tidak akurat
 waktu pelaksanaan pembuatan KTI yang kurang masuk akal (misalnya pembuatan KTI yang terlalu banyak dalam kurun waktu tertentu)
 adanya kesamaan yang sangat mencolok pada isi, format, gaya penulisan dengan KTI yang lain, baik yang dibuat oleh guru yang bersangkutan atau dengan KTI lain dari daerah tertentu (umumnya dengan sampul yang sama, kata pengantar yang sama, teori yang sama, daftar pustaka yang sama, yang berbeda hanya pada subyek mata pelajaran, dan data yang tampak sekedarnya)
 adanya keTIDAKsamaan yang sangat mencolok pada isi, format, gaya penulisan di anatara KTI yang dibuat oleh seorang guru (misalnya yang satu sangat sederhana, yang satu sangat tebal, sangat akademik setara tesis atau bahkan desertasi)
 tidak melampirkan dokumen kegiatan guna menunjukkan bahwa KTI tersebut benar-benar dilakukan sendiri, misalnya pada laporan hasil penelitian tidak melampirkan (a) semua instrumen yang digunakan dalam penelitian, terutama lembar pengamatan, b) contoh-contoh hasil kerja dalam pengisian/ pengerjaan instrumen baik oleh guru maupun siswa, (c) dokumen pelaksanaan penelitian yang lain seperti foto-foto kegiatan, daftar hadir, dan lain-lain.
 P erlu, permasalahan yang dikaji pada kegiatan pengembangan profesi tentunya harus memang diperlukan, mempunyai manfaat. Bukan hal yang mengada-ada, atau memasalahkan sesuatu yang tidak perlu untuk dipermasalahkan. Contoh dari KTI yang tidak perlu antara lain…
 masalah yang dikaji terlalu luas, tidak langsung berhubungan dengan permasalahan yang berkaitan dengan upaya pengembangan profesi guru di kelasnya (misalnya KTI yang berjudul (a) Kemampuan professional guru untuk meningkatkan mutu pembelajaran, (b) Peranan guru dalam melestarikan Pancasila, dan (c) Teknologi Informasi dalam dunia pendidikan).
 masalah yang ditulis tidak menunjukan adanya kegiatan nyata penulis dalam peningkatan / pengembangan profesinya sebagai guru, permasalahan yang ditulis, sangat mirip dengan KTI yang telah ada sebelumnya, telah jelas jawabannya, kurang jelas manfaatnya dan merupakan hal mengulang-ulang (misalnya KTI yang berjudul: (a) Hubungan status orangtua siswa dengan prestasi belajar, (b) Korelasi nilai IPA dengan nilai Pendidikan Pancasila, dan (c) Hubungan antara Motivasi Berprestasi dengan nilai Bahasa Indonesia.)
 Isi tulisan tidak termasuk pada macam KTI yang memenuhi syarat untuk dapat dinilai, misalnya pada KTI yang berjudul (a) rela berkorban untuk tanah air, (b) sejarah kerajaan Sunda Melinda, (c) Agar PEMILU berjalan Jurdil,
 I lmiah, penelitian harus berbentuk, berisi, dan dilakukan sesuai dengan kaidah-kaidah kebenaran ilmiah. Penelitian harus benar, baik teorinya, faktanya maupun analisis yang digunakannya. KTI yang tidak ilmiah antara lain ditandai dengan
 masalah yang dituliskan berada di luar permasalahan keilmuan khususnya permasalahan pembelajaran spesifik yang berkaitan dengan sekolah atau kelasnya
 latar belakang masalah tidak jelas sehingga tidak dapat menunjukkan pentingnya hal yang dibahas dan hubungan masalah tersebut dengan upayanya untuk mengembangkan profesinya sebagai guru (misalnya tidak ada fakta spesifik yang berkaitan dengan masalah di sekolah atau kelasnya)
 rumusan masalah tidak jelas sehingga kurang dapat diketahui apa sebenarnya yang akan diungkapkan pada KTInya
 kebenarannya tidak terdukung oleh kebenaran teori, kebenaran fakta dan kebenaran analisisnya
 landasan teori perlu perluas dan disesuaikan dengan permasalahan yang dibahas
 bila KTInya merupakan laporan hasil penelitian, tampak dari metode penelitian, sampling, data, analisis hasil yang tidak / kurang benar.
 Bila KTInya berupa laporan PTK tidak jelas apa, bagaimana dan mengapa kegiatan tindakan yang dilakukan, juga tidak jelas bagaimana peran hasil evaluasi dan refleksi pada penentuan siklus-siklus berikutnya.
 kesimpulan tidak/belum menjawab permasalahan yang diajukan
 K onsisten, penelitian harus disusun sesuai dengan kemampuan penyusunnya. Bila penulisnya seorang guru, maka penelitian haruslah berada pada bidang kelimuan yang sesuai dengan kemampuan guru tersebut. Penelitian di bidang pembelajaran yang semestinya dilakukan guru adalah yang bertujuan dengan upaya peningkatan mutu hasil pembelajaran dari siswanya, di kelas atau di sekolahnya.
 masalah yang dikaji tidak sesuai dengan tugas si penulis sebagai guru
 masalah yang dikaji tidak sesuai latar belakang keahlian atau tugas pokok penulisnya
 masalah yang dikaji tidak berkaitan dengan upaya penulis untuk mengembangkan profesinya sebagai guru (misalnya masalah tersebut tidak mengkaji permasalahan di bidang pendidikan yang bertujuan untuk meningkatkan mutu siswa di kelasnya yang sesuai dengan bidang tugasnya).

2.3. Bagaimana contoh alasan dan saran dalam menilai KTI?
Berikut disajikan contoh alasan dan saran dalam menilai KTI yang belum memenuhi syarat dan karena itu tidak dapat diberi nilai.
No Kriteria Penolakan Hal terdapat pada KTI ... Alasan penolakan dan saran
1 KTI tidak ASLi (a) Pada KTI terdapat indikasi yang menunjukan bahwa KTI tersebut tidak asli, seperti data yang tidak konsisten, lokasi, nama sekolah, dan data yang dipalsukan, lampiran yang tidak sesuai, dan lain-lain
(b) Dalam satu tahun, seorang guru mengajukan lebih dari dua buah KTI hasil penelitian. Adalah kurang wajar bila seorang guru mampu membuat KTI hasil penelitian dalam jumlah yang terlalu banyak dalam satu tahun (Apabila setiap semester dilakukan satu penelitian, maka dalam setahun, dihasilkan maksimal dua KTI hasil penelitian)
(c) Beberapa KTI dari guru yang sama, sangat berbeda kualitasnya. Misalnya satu KTI berkualitas setara tesis, sedang KTI lain yang, mempunyai kualitas yang sangat jauh berbeda. Tidak wajar apabila kualitas KTI dari guru yang sama, mempunyai mutu yang sangat jauh berbeda.
(d) KTI yang dinyatakan dibuat dalam waktu yang berbeda (misalnya tahun-tahun yang berbeda) mempunyai kesamaan mencolok satu dengan yang lain. Kesamaan itu misalnya tampak pada kata pengantar, tanggal pengesahan, tanggal pembuatan, foto pelaksanaan yang sama, dan data lain yang menunjukkan ketidak wajaran.
Terdapat indikasi yang menunjukan KTI ini diragukan keasliannya, yaitu
(a) adanya berbagai data yang tidak konsisten
(b) dalam waktu relatif singkat membuat begitu banyak karya ilmiah
(c) adanya perbedaan mutu KTI yang mencolok dari karya seorang guru
(d) adanya kesamaan yang mencolok dari KTI yang dibuat pada waktu yang berbeda.
Disarankan untuk membuat KTI baru, karya sendiri, dalam bidang pendidikan yang berfokus pada “laporan” kegiatan nyata yang bertsangkutan. Misalnya berupa laporan penelitian tindakan kelas, atau diktat, buku, karya terjemahan, dan lain-lain.

2
KTI tidak ASLi KTI yang diajukan sangat mirip skipsi, tesis atau desertasi orang lain.
Hal ini tampak dari sajian isi, format kelengkapan kepustakaan, kedalaman teori dan terutama permasalahan penelitian sangat mirip dengan skripsi, tesis atau desertasi.
Contoh judul:
Pengaruh model pembelajaran melalui seting belajar kooperatif terhadap pemahaman konseptual dan algoritmik matematika realistik pada mahasiswa prodi sosial. (jumlah halaman 182, dengan 43 kepustakaan)
Terdapat indikasi KTI ini tidak asli. KTI yang diajukan sangat mirip skripsi, tesis atau desertasi atau KTI orang lain.
Disarankan untuk membuat KTI baru dalam bidang pendidikan yang berfokus pada “laporan” kegiatan nyata yang bertsangkutan. Misalnya berupa laporan penelitian tindakan kelas, atau diktat, buku, karya terjemahan, dan lain-lain.


3 KTI tidak ASLi Beberapa KTI (yang umumnya berasal dari daerah yang sama) sangat mirip. Kemiripan yang mencolok tersebut tampak pada pengantar, abstrak, teori, daftar pustaka, yang tertulis sama baik bentuk dan ukuran huruf, kata-demi-kata, kalimat dan lain-lain.
Fakta di lapangan menunjuk-kan adanya biro jasa yang bersedia “membuatkan” KTI bagi para guru. Terdapat indikasi KTI ini tidak asli. KTI yang diajukan sangat mirip dengan KTI lain dari daerah yang sama. Kemiripan yang mencolok tersebut tampak pada kata pengantar, daftar isi, abstrak, teori, daftar pustaka, dan berbagai data yang lain.
Disarankan untuk membuat KTI baru, karya sendiri, dalam bidang pendidikan yang berfokus pada “laporan” kegiatan nyata yang bertsangkutan. Misalnya berupa laporan penelitian tindakan kelas, atau diktat, buku, karya terjemahan, dan lain-lain.
Bila KTI tersebut berupa laporan penelitian maka sistematika paling tidak memuat :
(Bab I) Pendahuluan yang menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah dan Cara Pemecahan Masalah melalui rencana tindakan yang akan dilakukan, Tujuan dan Kemanfaatan Hasil Penelitian; (Bab II) Kajian / Tinjauan Pustaka yang berisi uraian tentang kajian teori dan pustaka; (Bab III) Metode Penelitian yang menjelaskan tentang prosedur penelitian; (Bab IV) Hasil penelitian; dan (Bab V) Simpulan dan Saran-Saran.
Laporan penelitian harus pula melampirkan (a) semua instrumen yang digunakan dalam penelitian, terutama lembar pengamatan, b) contoh-contoh hasil kerja dalam pengisian/ pengerjaan instrumen baik oleh guru maupun siswa, (c) dokumen pelaksanaan penelitian yang lain seperti foto-foto kegiatan, daftar hadir, dan lain-lain.


4 KTI tidak PERLU Isi KTI berupa diskripsi atau paparan tentang hal yang terlalu luas/ terlalu umum
Tidak ada keterkaitannya dengan permasalahan yang ada di sekolah/ kelasnya. Tidak ada hal yang berkaitan dengan kegiatan ybs sebagai guru di kelasnya.
Umumnya berupa kumpulan berbagai pendapat orang lain.
Contoh judul:
Membangun karakter bangsa melalui kegiatan ekstra kurikuler
Dalam rangka HUT PGRI guru bertanggungjawab untuk meningkatkan mutu pendidikan Indonesia
Motivasi guru dalam kegiatan olahraga
Peranan perpustakaan dalam meningkatkan prestasi belajar siswa
Hubungan antara kondisi sosial ekonomi orangtua siswa dengan prestasi belajarnya. KTI belum memenuhi persyaratan, hal yang dipermasalahkan terlalu umum, telah jelas jawabannya dan tidak terkait dengan kegiatan nyata yang bersangkutan dalam kegiatan pengembangan profesinya sebagai guru.
Disarankan membuat KTI baru yang berupa “laporan” kegiatan nyata yang bersangkutan, misalnya laporan penelitian tindakan kelas.
Bila KTI dimaksudkan sebagai tinjauan ilmiah tetap harus memasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas mengajarnya dengan menyertakan fakta-fakta masalah yang terjadi di kelasnya. Kemudian diuraikan bagaimana upaya yang bersangkutan mengurangi atau memecahkan masalah berkaitan dengan teori yang ada. Sistematika karya tulis ilmiah yang berupa tinjauan ilmiah paling tidak memuat :
1. Pendahuluan yang terdiri dari (a) latar belakang masalah, (b) rumusan masalah, (c) tujuan dan manfaat penulisan
2. Kajian teori yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dan sajian fakta-fakta yang terkait dengan pelaksanaan tugas yang bersangkutan di kelas/ sekolahnya
3. Tinjauan atau ulasan tentang bagaimana memecahkan masalah atau mengurangi masalah yang berupa gagasan yang bersangkutan berdasar teori dan fakta yang ada.
4. Kesimpulan dan saran

5 KTI tidak PERLU Isi KTI berupa laporan penelitian di luar bidang pendidikan / pembelajaran.
Lebih merupakan penelitian bidang studi.
Contoh judul:
Pengaruh jumlah faktor air semen pada kekuatan tekan beton.
Analisis kesalahan siswa dalam mengubah kalimat aktif menjadi kalimat pasif
Suatu tinjauan tentang pelaksanaan pembelajaran sejarah KTI belum memenuhi persyaratan, hal yang dipermasalahkan berupa pembahasan isi/materi pelajaran dan tidak terkait dengan kegiatan nyata yang bersangkutan dalam kegiatan pengembangan profesinya sebagai guru dalam praktik pembelajaran.
Disarankan membuat KTI baru yang berupa “laporan” kegiatan nyata yang bersangkutan, misalnya laporan penelitian tindakan kelas.
Bila KTI dimaksudkan sebagai tinjauan ilmiah tetap harus memasalahkan hal-hal yang berkaitan dengan tugas-tugas mengajarnya dengan menyertakan fakta-fakta masalah yang terjadi di kelasnya. Kemudian diuraikan bagaimana upaya yang bersangkutan mengurangi atau memecahkan masalah berkaitan dengan teori yang ada.

6 KTI tidak Ilmiah Isi KTI menunjukan hal-hal berikut:
 masalah yang dituliskan berada di luar permasalahan keilmuan khususnya permasalahan pembelajaran spesifik yang berkaitan dengan sekolah atau kelasnya
 latar belakang masalah tidak jelas sehingga tidak dapat menunjukkan pentingnya hal yang dibahas dan hubungan masalah tersebut dengan upayanya untuk mengembangkan profesinya sebagai guru (misalnya tidak ada fakta spesifik yang berkaitan dengan masalah di sekolah atau kelasnya)
 rumusan masalah tidak jelas sehingga kurang dapat diketahui apa sebenarnya yang akan diungkapkan pada KTInya
 kebenarannya tidak terdukung oleh kebenaran teori, kebenaran fakta dan kebenaran analisisnya
 bila KTInya merupakan laporan hasil penelitian, tampak dari metode penelitian, sampling, data, analisis hasil yang tidak / kurang benar.
 Bila KTInya berupa laporan PTK tidak jelas apa, bagaimana dan mengapa kegiatan tindakan yang dilakukan, juga tidak jelas bagaimana peran hasil evaluasi dan refleksi pada penentuan siklus-siklus berikutnya.
 kesimpulan tidak/belum menjawab permasalahan yang diajukan
KTI belum memenuhi persyaratan sebagai karya tulis ilmiah. Hal itu terlihat dari : (a) masalah yang dituliskan berada di luar permasalahan keilmuan, (b) latar belakang tidak jelas dan rumusan masalah tidak jelas, (c) kerangka teori tidak sesuai, (d) metode penelitian tidak benar.
Untuk itu buat KTI baru, atau perbaiki KTi ini dengan mengacu pada hal-hal berikut:
Bila KTI tersebut berupa laporan penelitian maka sistematika paling tidak memuat :
(Bab I) Pendahuluan yang menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah dan Cara Pemecahan Masalah melalui rencana tindakan yang akan dilakukan, Tujuan dan Kemanfaatan Hasil Penelitian; (Bab II) Kajian / Tinjauan Pustaka yang berisi uraian tentang kajian teori dan pustaka; (Bab III) Metode Penelitian yang menjelaskan tentang prosedur penelitian; (Bab IV) Hasil penelitian; dan (Bab V) Simpulan dan Saran-Saran.
Laporan penelitian harus pula melampirkan (a) semua instrumen yang digunakan dalam penelitian, terutama lembar pengamatan, b) contoh-contoh hasil kerja dalam pengisian/ pengerjaan instrumen baik oleh guru maupun siswa, (c) dokumen pelaksanaan penelitian yang lain seperti foto-foto kegiatan, daftar hadir, dan lain-lain.
Bila dimaksudkan sebagai tinjauan ilmiah paling tidak memuat : (a) Pendahuluan yang terdiri dari latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, (b) Kajian teori yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji dan sajian fakta-fakta yang terkait dengan pelaksanaan tugas yang bersangkutan di kelas/ sekolahnya, (c) Tinjauan atau ulasan tentang bagaimana memecahkan masalah atau mengurangi masalah yang berupa gagasan yang bersangkutan berdasar teori dan fakta yang ada, dan (d) Kesimpulan dan saran

7 KTI tidak Kon-sisten Isi KTI tidak berkaitan dengan tugas guru dalam tugas pembelajarannya.
 masalah yang dikaji tidak sesuai dengan tugas si penulis sebagai guru
 masalah yang dikaji tidak sesuai latar belakang keahlian atau tugas pokok penulisnya
 masalah yang dikaji tidak berkaitan dengan upaya penulis untuk mengembangkan profesinya sebagai guru
Contoh judul:
Pengaruh komunikasi kepala sekolah terhadap peningkatan semangat kerja guru
KTI belum memenuhi persyaratan karena hal yang dipermasalahkan tidak sesuai dengan tidak sesuai dengan tugas si penulis sebagai guru, atau tidak sesuai latar belakang keahlian atau tugas pokoknya.
Disarankan untuk membuat KTI baru, karya sendiri, dalam bidang pendidikan yang berfokus pada “laporan” kegiatan nyata yang bertsangkutan. Misalnya berupa laporan penelitian tindakan kelas, atau diktat, buku, karya terjemahan, dan lain-lain.

Berikut disajikan contoh alasan dan saran dalam menilai KTI yang BILA DIPERBAIKI akan mendapat nilai
No Kriteria Penolakan Hal terdapat pada KTI ... Alasan penolakan dan saran
1 KTI belum melampirkan kelengkapan data Secara keseluruhan KTI tersebut telah cukup baik, tetapi tidak melampirkan kelengkapan (umumnya pada laporan hasil penelitian), sehingga timbul keraguan, apakah KTI tersebut memang karya sendiri atau bukan. KTI ini cukup baik. Namun, segera lampirkan (a) semua instrumen yang digunakan dalam penelitian, terutama lembar pengamatan, b) contoh-contoh hasil kerja dalam pengisian/ pengerjaan instrumen baik oleh guru maupun siswa, (c) dokumen pelaksanaan penelitian yang lain seperti foto-foto kegiatan, daftar hadir, dan lain-lain.

2 KTI yang perlu tambahan pengesahan Secara keseluruhan KTI tersebut telah cukup baik, namun belum ada persetujuan dari kepala sekolah atau yang lain KTI ini cukup baik. Namun, segera dilengkapi dengan persetujuan. Pengesahan sesuai dengan pedoman. Terutama pengesahan dari kepala sekolah.
3 KTI yang perlu tambahan-tambahan lain KTI yang dinyatakan sebagai prasaran tetapi tidak dilengkapi dengan bukti-bukti seperti (a) pernyataan dari penyelenggara seminar, (b) pigama –bila ada, (c) daftar hadir dan lain-lain. KTI ini cukup baik. Namun, sebagai prasaran dalam kegiatan ilmiah hendaknya segera dilengkapi dengan bukti-bukti seperti (a) pernyataan dari penyelenggara seminar, (b) pigama –bila ada, (c) daftar hadir dan lain-lain.
4 Lainnya....

2.4. Adakah contoh judul KTI yang dapat dinilai?
Berikut disajikan contoh Judul KTI yang memenuhi kegiatan pengembangan profesi dan memenuhi syarat dan dapat diberi nilai.
No Judul Intisari isi Dapat dinilai sebagai
1 Pengaruh penggunaan alat peraga gambar terhadap nilai sejarah pada siswa kelas III, sem 1. SMP X. Mengkaji perbedaan prestasi siswa dengan penggunaan dua model pembelajaran sejarah (alat peraga gambar dan bagan vs media tertulis) untuk topik tertentu pada pelajaran sejarah.
Penelitian eksperimen di kelas, yang melibatkan 4 kelas, dengan jumlah siswa 132 dibagi secara random dalam dua kelompok. Dilakukan selama 5 kali pertemuan.
KTI ini melampirkan secara lengkap semua instrumen, contoh isian responden, foto-foto kegiatan, dan dokumen penelitian yang lain. Makalah hasil penelitian dengan nilai 4
2 Peningkatan hasil belajar matematika melalui model belajar kelompok kooperatif , di kelas VI, SD. Penelitian tindakan kelas dengan bentuk tindakannya berupa penerapan pembelajaran matematika melalui model belajar kelompok kooperarif.
Bentuk tindakannya dirinci dengan sangat jelas, demikian pula cara dan hasil pengumpulan data yang digunakan untuk evaluasi dan refleksi.
PTK dilakukan dalam 2 siklus selama 4 bulan. Dilampirkan secara lengkap semua instrumen, contoh isian responden, foto-foto kegiatan, dan dokumen penelitian yang lain. Makalah hasil penelitian dengan nilai 4
3 Kesesuaian antara minat dengan pilihan program keterampilan Penelitian desriptif di sekolahnya tentang bagaimana hubungan antara minat siswa dengan berbagai program keterampilan yang ditawarkan.
Data-data faktual dari permasalahan yang ada disajikan secara lengkap.
KTI ini ditulis oleh guru Bimbingan dan Konseling dan melampirkan secara lengkap semua instrumen, contoh isian responden, foto-foto kegiatan, dan dokumen penelitian yang lain.
Makalah hasil penelitian dengan nilai 4
4 Peningkatan hasil belajar Biologi dengan menggunakan Media Kartu Bergambar pada topik X, di kelas Y, dstnya..
Penelitian tindakan kelas, dengan jabaran macam tindakan yang sangat rinci dengan dukungan teori. Terdiri dari 2 siklus melibatkan seluruh kelas untuk satu catur wulan.
Tulisan ini dimuat di Jurnal Pendidikan satu Perguruan Tertentu yang berkualitas dan terakreditasi. Makalah hasil penelitian yang dimuat di jurnal dengan nilai 6
5 Pengaruh review terhadap daya serap siswa pada pelajaran Kimia di SMU X, kelas…

Tinjauan ilmiah tentang pratik pembelajaran dengan menggunakan review di setiap akhir bahasan yang selama ini telah dilakukan di kelasnya.
Data tentang hal dipermasalkan dilampirkan dengan jelas dan lengkap.
Gagasan pemecahan masalah yang diajukan penulis tersaji dengan jelas. Makalah hasil tinjuan dengan nilai 3,5
6 Perbandingan teknik meniru model dengan teknik organisasi dalam pembelajaran menulis karangan di SMP …. Prasaran pada kegiatan ilmiah di tingkat kabupaten yang menjelaskan pengalamannya dalam pembelajaran dengan disertai data dan persamasalah nyata yang terjadi di kelasnya.
Bukti bahwa makalah tersebut telah diseminarkan pada forum tertentu dilampiran dengan disertai bukti-bukti yang valid. Prasaran di pertemuan ilmiah nilai 2,0

2.5. Apa benar, banyak KTI ditolak karena tidak asli?
Tujuan kegiatan pengembangan profesi tentu TIDAK untuk menjadikan guru yang TIDAK JUJUR.
Karena itu, semua KTI yang menunjukkan hasil kerja yang tidak jujur seharusnya ditolak dan tidak diberi nilai, dan bahkan bila perlu yang bersangkutan dikenai sangsi.
Tujuan kegiatan pengembangan juga dimaksudkan agar guru MELAKUKAN SECARA NYATA sesuatu kegiatan (seberapa sederhana atau kecilnya kegiatan) di kelasnya yang ditujukan untuk meningkatkan mutu proses dan hasil belajar.
Sehingga KTI yang diajukan harus mampu menunjukkan adanya karya nyata tersebut. KTI yang jelas-jelas tidak menunjukkan kegiatan semacam itu tidak dapat diberi nilai.
Dalam praktik sering dijumpai KTI yang merupakan JIPLAKAN, KTI orang lain yang dinyatakan sebagai karyanya, atau bahkan KTI yang DIBUATKAN oleh orang lain (institusi; biro jasa).
KTI yang tidak asli, seringkali mudah terdeteksi, misalnya dari data yang tidak konsisten, tulisan yang tidak sama, dan lain-lain. Beberapa kasus KTI tidak asli yang pernah terjadi adalah sebagai berikut.
No Hal yang pernah terjadi...
1 Pada KTI terdapat indikasi yang menunjukan bahwa KTI tersebut tidak asli, seperti data yang tidak konsisten, lokasi, nama sekolah, dan data yang dipalsukan, lampiran yang tidak sesuai, dan lain-lain
2 Beberapa KTI dari guru yang sama, sangat berbeda kualitasnya. Misalnya satu KTI berkualitas setara tesis, sedang KTI lain yang, mempunyai kualitas yang sangat jauh berbeda.
Tidak wajar apabila kualitas KTI dari guru yang sama, mempunyai mutu yang sangat jauh berbeda.
3 Dalam satu tahun, seorang guru mengajukan lebih dari dua buah KTI hasil penelitian.
Kurang wajar bila seorang guru mampu membuat KTI hasil penelitian dalam jumlah yang terlalu banyak dalam satu tahun (Apabila setiap semester dilakukan satu penelitian, maka dalam setahun, dihasilkan maksimal dua KTI hasil penelitian)
4 KTI yang dinyatakan dibuat dalam waktu yang berbeda (misalnya tahun-tahun yang berbeda) mempunyai kesamaan mencolok satu dengan yang lain.
Kesamaan itu misalnya tampak pada kata pengantar, tanggal pengesahan, tanggal pembuatan, foto pelaksanaan yang sama, dan data lain yang menunjukkan ketidak wajaran.
5 KTI yang diajukan sangat mirip skipsi, tesis atau desertasi orang lain.
Hal ini tampak dari sajian isi, format kelengkapan kepustakaan, kedalaman teori dan terutama permasalahan penelitian sangat mirip dengan skripsi, tesis atau desertasi.
6 Beberapa KTI (yang umumnya berasal dari daerah yang sama) sangat mirip. Kemiripan yang mencolok tersebut tampak pada pengantar, abstrak, teori, daftar pustaka, yang tertulis sama baik bentuk dan ukuran huruf, kata-demi-kata, kalimat dan lain-lain.
Fakta di lapangan menunjukkan adanya biro jasa yang bersedia “membuatkan” KTI bagi para guru.

2.6. Apa benar, banyak KTI diterima karena berupa laporan PTK?
Tidak sepenuhnya benar. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya terdapat tujuh macam KTI, mulai dari KTI hasil penelitian sampai dengan KTI terjemahan. Apapun macam KTInya apabila telah dibuat dengan baik dan benar, maka dapat diberi nilai.
Namun, akhir-akhir ini KTI yang paling banyak dibuat oleh guru adalah KTI hasil penelitian, terutama hasil Penelitian Tindakan Kelas (PTK).

Memang, KTI yang dibuat berdasar hasil PTK disarankan untuk dilakukan guru dalam upaya menulis KTI karena (a) KTI tersebut merupakan laporan dari kegiatan nyata yang dilakukan para guru di kelasnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajarannya – (ini tentunya berbeda dengan KTI yang berupa laporan penelitian korelasi, penelitian diskriptif, ataupun ungkapan gagasan, yang umumnya tidak memberikan dampak langsung pada proses pembelajaran di kelasnya), dan (b) dengan melakukan kegiatan penelitian tersebut, maka para guru telah melakukan salah satu tugasnya dalam kegiatan pengembangan profesionalnya.

Umumnya KTI yang berupa laporan PTK menggunakan kerangka isi sebagai berikut:
Bagian Awal yang terdiri dari: (a) halaman judul; (b) lembaran persetujuan dan pernyataan dari kepala sekolah yang menyatakan keaslian tulisan dari si penulis; (c) pernyataan dari perpustakaan yang menyatakan bahwa makalah tersebut telah disimpan diperpustakannya, (d) pernyataan keaslian tulisan yang dibuat dan ditandatangi oleh penulis, (e) kata pengantar; (f) daftar isi, (bila ada : daftar label, daftar gambar dan daftar lampiran), serta (g) abstrak atau ringkasan.
Bagian Isi umumnya terdiri dari beberapa bab yakni: (Bab I) Pendahuluan yang menjelaskan tentang Latar Belakang Masalah, Perumusan Masalah dan Cara Pemecahan Masalah melalui rencana tindakan yang akan dilakukan, Tujuan dan Kemanfaatan Hasil Penelitian; (Bab II) Kajian / Tinjauan Pustaka yang berisi uraian tentang kajian teori dan pustaka yang menumbuhkan gagasan yang mendasari usulan rancangan penelitian tindakan; (Bab III) Metode Penelitian atau Metodologi Penelitian yang menjelaskan tentang prosedur penelitian; (Bab IV) Hasil penelitian dan pembahasan serta mengemukakan gambaran tentang pelaksanaan tindakan, dimulai dari setting atau pengaturan siswa, penjelasan umum jalannya pembelajaran diikuti penjelasan siklus demi siklus; dan (Bab V) Simpulan dan Saran-Saran.
Bagian Penunjang yang pada umumnya terdiri dari sajian daftar pustaka dan lampiran-lampiran yang diperlukan untuk menunjang isi laporan. Lampiran utama yang harus disertakan adalah (a) semua instrumen yang digunakan dalam penelitian, terutama lembar pengamatan, b) contoh-contoh hasil kerja dalam pengisian/ pengerjaan instrumen baik oleh guru maupun siswa, (c) dokumen pelaksanaan penelitian yang lain seperti foto-foto kegiatan, daftar hadir, dan lain-lain.
Hanya laporan PTK yang baik dan benar sajalah yang dapat diberi nilai. Untuk itu berikut disajikan contoh format Penilaian PTK
No Komponen Indikator

1. Format keseluruhan Kelengkapan materi : Bagian awal, bagian isi penelitian, dan bagian pendukung
2. Bab I PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah Kejelasan alasan dilengkapi data yg relevan
B. Penjelasan tindakan Kejelasan tindakan spesifik yang dilakukan
C. Rumusan masalah Kejelasan rumusan masalah
D. Tujuan penelitian Kejelasan tujuan dan manfaat penelitian
3. BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Cakupan teori Uraian teori yang berkaitan dengan permasalahan dan tindakan yang dilakukan.
C. Kerangka berpikir Kejelasan alur pikir dalam menarik hipotesis
4. BAB III METODE PENELITIAN Kejelasan tentang subjek tindakan
Kejelasan mengenai apa dan bagaimana tindakan dilakukan (minimal dua siklus)
Kejelasan langkah tindakan yang dilakukan guru dan siswa
Kejelasan pelaksanaan refleksi
5. BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN Kejelasan pelaksanaan proses tindakan tiap siklus
Sajian data tentang aspek perubahan pada proses pengamatan tiap siklus
Kejelasan kegiatan refleksi
6. BAB V KESIMPULAN DAN SARAN Kejelasan kesimpulan dan saran
7. Bagian Pendukung Kesesuaian pustaka
Kelengkapan lampiran (adanya instrumen, contoh hasil kerja siswa, foto kegiatan, daftar presensi, dan dokumen kegiatan yang lain)


Apabila KTI tersebut merupakan laporan hasil penelitian (misalnya laporan PTK) maka cirri khususnya adalah sebagai berikut:
Ciri khusus KTI yang berupa laporan PTK
KTI ini merupakan laporan hasil penelitian tindakan kelas .
Untuk dapat membuat laporan penelitian, si penulis terlebih dahulu harus melakukan penelitian.
Kegiatan penelitian yang dilakukan guru adalah di bidang pembelajaran yang diasuhnya dan dilakukan di kelasnya.
Tujuan utama kegiatan PTK yang dilakukan adalah untuk pengembangan profesi dalam meningkatkan mutu pembelajarannya.

2.7. Bagaimana agar KTI yang baik dan benar, bertambah?
Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, terdapat permasalahan sehubungan proses kenaikan dari golongan IVa ke atas yang relatif berjalan “lambat”. Pada kenaikan pangkat golongan IVa ke atas diwajibkan adanya pengumpulan angka kredit dari unsur Kegiatan Pengembangan Profesi.
Sementara itu, tidak sedikit guru yang “merasa” kurang mampu melaksanakan kegiatan pengembangan profesinya (= yang dalam hal ini membuat KTI) sehingga menjadikan mereka enggan, tidak mau, dan bahkan apatis terhadap pengusulan kenaikan golongannya. Terlebih lagi dengan adanya pendapat bahwa kenaikan pangkat/golongannya belum memberikan peningkatkan kesejahteraan yang signifikannya,
Akibat dari hal di atas menjadikan permasalahan (a) Banyak guru yang telah lama berada di golongan IVa, dan sangat ingin segera naik pangkat. Baik mereka yang memenuhi persyaratan, ataupun tidak. Baik yang berprestasi, maupun tidak, dan (b) Banyak guru yang telah mencoba mengumpulkan angka kredit pengembangan profesi, dan yang terbanyak melalui KTI, tetapi KTI nya tidak memenuhi syarat dan TIDAK dapat diberi nilai.
Persoalannya adalah: Bagaimana guru lebih mau dan lebih mampu membuat KTI, agar jumlah KTI yang baik dan benar dapat bertambah. Beberapa cara dapat dilakukan, antara lain :
(1) Perbanyak sosialisasi tentang makna dan tujuan Kegiatan Pengembangan Profesi dan hubungannya dengan kriteria KTI yang dapat dinilai
(2) Perbanyak pelatihan tentang bagaimana menyusun KTI terutama kepada mereka yang sudah memenuhi syarat untuk itu
(3) Revisi dan perbaiki Pedoman Penulisan (yang dibuat tahun 1996) untuk dapat menjadi pedoman yang lebih praktis dan mudah dipahami, perbanyak dan sebarkan
(4) Buat dan sebarkan berbagai buku pedoman penulisan yang dapat membantu guru dalam menulis KTInya
(5) Perbaiki aturan dan kebijakan tentang kenaikkan pangkat guru dari IIIa ke IVa agar tidak terjadi anggapan bahwa “naik pangkat begitu mudahnya dan tidak perlu upaya serta prestasi”
(6) Perbaiki aturan dan kebijakan tentang kenaikkan pangkat guru dari IVa ke atas agar tidak terjadi anggapan bahwa “naik pangkat begitu susahnya, dan membawa frustasi”

Bab III Pertanyaan yang sering muncul pada pelatihan KTI
3.1. Saat ini jumlah guru dalam golongan IVa sangat banyak, kenaikkan ke golongan IVb ke atas, sangat lambat. Mengapa tidak dilakukan seperti kenaikan pangkat dari III a ke IVa yang relatif lancar?
Tujuan kegiatan pengembangan profesi guru adalah untuk meningkatkan mutu guru agar mereka lebih profesional dalam pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya.
Kegiatan tersebut bertujuan bukan untuk mempercepat atau memperlambat kenaikan pangkat/golongan, tetapi untuk memperbanyak guru yang makin profesional. Selanjutnya sebagai penghargaan kepada guru yang mampu meningkatkan mutu profesionalnya, diberikan penghargaan, di antaranya dengan kenaikan pangkat/golongannya.
Sangat TIDAK adil dan TIDAK professional jika penghargaan kenaikan pangkat/golongan diberikan “secara otomatis” kepada semua guru (baik yang berprestasi maupun yang tidak), atau hanya berdasar kepada masa kerjanya.
Berbagai informasi menyatakan bahwa kenaikan pangkat/jabatan guru dari golongan IIIa ke IVa, relatif “lancar”, sehingga saat ini cukup banyak guru telah menduduki golongan IVa, baik mereka yang professional maupun tidak. Hal tersebut dapat saja menggembirakan. Tetapi juga sekaligus “menyedihkan” bila kenaikan pangkat/golongan itu tidak dilakukan dengan seleksi yang mampu menunjukkan realita mutu guru yang sesuai dengan pangkat/golongan yang disandangnya.
3.2. Apakah untuk memperoleh angka kredit pengembangan profesi harus dengan cara membuat KTI?
Tidak. Berbeda dengan anggapan umum, menyusun Karya Tulis Ilmiah (KTI) BUKAN merupakan satu-satunya kegiatan pengembangan profesi guru.
Namun, dengan berbagai alasan, antara lain karena belum jelasnya petunjuk operasional pelaksanaan dan penilaian dari kegiatan selain menyusun KTI, maka pelaksanaan kegiatan pengembangan profesi sebagian terbesar dilakukan melalui KTI.
3.3. Berapa jumlah halaman KTI agar dapat dinilai?
Tidak hubungan antara banyaknya jumlah halaman dengan mutu KTInya.
Umumnya KTI hasil penelitian PTK yang disajikan dalam bentuk makalah berkisar antara 40 – 60 halaman, belum termasuk lampiran-lampirannya.
3.4. Apa masalah utama yang terjadi dalam penyusunan KTI?
Terdapat beberapa permasalahan dalam praktik pelaksanaan dan pembuatan laporan kegiatan pengembangan profesi guru.
Pertama banyaknya laporan kegiatan (yang umumnya berupa Karya Tulis Ilmiah) yang “keasliannya” diragukan, KTI tersebut diduga bukan karya si penulis.
Kedua, banyaknya KTI yang tidak ada manfaatnya, sekedar ungkapan gagasan yang dangkal, terlalu umum, dan tidak jelas menunjukkan kegiatan apa yang telah dilakukan guru dalam usahanya dalam pengembangan profesinya sebagai guru. \
3.5 Apakah KTI yang mempermasalahkan tentang materi isi ajaran, mengkaji ada tidaknya hubungan antara latar belakang siswa dengan prestasi belajarnya, tidak memenuhi syarat untuk dinilai?
Sebagai penelitian di bidang pendidikan penelitian tersebut boleh-boleh saja. Namun dalam konteks kegiatan pengembangan profesi guru, maka guru diharapkan melakukan kegiatan inovatif dalam peningkatan / pengembangan profesinya sebagai guru.
Dalam hal ini upaya memperbaiki rancangan, sajian dan evaluasi pembelajaran sangat disarankan sebagai bentuk kegiatan nyata guru dalam kegiatan pengembangan profesi.
Dengan konteks itu KTI yang mempermasalahkan tentang materi isi ajaran, mengkaji ada tidaknya hubungan antara latar belakang siswa dengan prestasi belajarnya, tidak memenuhi syarat untuk dinilai.
3.6 Apakah KTI laporan hasil penelitian harus berupa makalah?
Tidak. Suatu kegiatan pengembangan profesi guru, seperti misalnya melakukan PTK, maka laporan hasil penelitiannya dapat disajikan dalam berbagai bentuk.
Dapat berupa makalah yang disimpan di perpustakaan, atau dalam bentuk artikel yang dimuat di jurnal ilmiah atau tulisan ilmiah popular atau sebagai makalah yang merupakan prasaran dalam pertemuan ilmiah
3.7 Apa yang paling sering menjadi alasan penolakan KTI yang berasal dari laporan hasil penelitian PTK?
Alasan yang paling sering dijumpai dalam menolak laporan PTK adalah:
(a) penjelasan apa dan bagaimana tindakan yang dilakukan kurang terjabar dengan jelas dan rinci
(b) penjelasan tentang bagaimana menilai keberhasilan atau menilai ketercapaian dari tindakan tidak jelas
(c) tidak melampirkan semua intrumen yang digunakan dalam pelaksanaan tindakan, dan sangat disarankan untuk melampirkan pula contoh isian kuisener, tes, kegiatan siswa, isian observasi guru, daftar hadir, foto-foto kegiatan dan dokumen yang lain
3.8. Mengapa banyak KTI yang dikirim untuk dinilai, belum berhasil memperoleh angka kredit?
Prosentase KTI yang tidak memenuhi syarat untuk memperoleh angka kredit masih sangat tinggi, hal ini terutama disebabkan oleh
 Tidak sedikit KTI yang diajukan oleh guru bukan karya sendiri, namun menyalin dari karya orang lain (yang umumnya skripsi, tesis orang lain), atau bahkan KTI tersebut dibuatkan oleh orang/institusi lain.
 Cukup banyak KTI yang mempermasalahkan hal-hal yang mengada-ada, tidak perlu dan membahas masalah yang terlalu luas serta tidak berkaitan dengan kegiatan pengembangan profesi yang bersangkutan sebagai guru. Penelitian yang mempermasalahkan hubungan antara latar belakang siswa dengan prestasi belajarnya, pengaruh latar belakang orang tua, manfaat perpustakaan merupakan contoh KTI yang tidak perlu.
 Meskipun tidak terlalu banyak, beberapa KTI ditolak karena tidak mengikuti kaidah keilmuan, seperti rumusan masalah tidak jelas, kerangka teori sangat menyimpang, metode penelitian yang salah, data yang tidak sesuai, dan kesimpulan yang tidak terkait dengan rumusan masalah.
 Ada pula KTI yang ditolak karena kurang konsisten antara tugasnya dangan apa yang ditulisnya.

Rangkuman

KTI adalah laporan tertulis tentang (hasil) kegiatan ilmiah. Karena kegiatan ilmiah itu banyak macamnya, maka laporan kegiatan ilmiah (= KTI) juga beragam bentuknya. Ada yang berbentuk laporan penelitian, tulisan ilmiah populer, buku, diktat dan lain-lain.
Salah satu bentuk KTI yang akhir-akhir ini, cenderung banyak dilakukan oleh para guru adalah KTI hasil penelitian perorangan yang tidak dipublikasikan, tetapi didokumentasikan di perpustakaan sekolah dalam bentuk makalah. KTI jenis ini mempunyai nilai angka kredit 4 (empat).
Penelitian Tindakan Kelas (PTK), disarankan dilakukan guru karena KTI tersebut merupakan laporan dari kegiatan nyata yang dilakukan para guru di kelasnya dalam upaya meningkatkan mutu pembelajarannya.

Di lapangan, terdapat KTI yang merupakan JIPLAKAN, KTI orang lain yang dinyatakan sebagai karyanya, atau bahkan KTI yang DIBUATKAN oleh orang lain. Banyak pula KTI yang berisi uraian hal-hal yang terlalu umum dan tidak berkaitan dengan permasalahan atau kegiatan nyata yang dilakukan oleh guru dalam kegiatan pengembangan profesinya.
Agar guru lebih mau dan lebih mampu membuat KTI, agar jumlah KTI yang baik dan benar dapat bertambah dapat dilakukan (a) Perbanyak sosialisasi tentang makna dan tujuan Kegiatan Pengembangan Profesi dan hubungannya dengan kriteria KTI yang dapat dinilai, (b) Perbanyak pelatihan tentang bagaimana menyusun KTI terutama kepada mereka yang sudah memenuhi syarat untuk itu, (c) Revisi dan perbaiki Pedoman Penulisan untuk dapat menjadi pedoman yang lebih praktis dan mudah dipahami, perbanyak dan sebarkan, (d) Buat dan sebarkan berbagai buku pedoman penulisan yang dapat membantu guru dalam menulis KTInya.

Kepustakaan
Suhardjono, Azis Hoesein, dkk. (1996). Pedoman Penyusunan Karya Tulis Ilmiah di Bidang Pendidikan dan Angka Kredit Pengembangan Profesi Widyaiswara. Jakarta : Depdikbud, Dikdasmen.
Suhardjono, (2005), Laporan Penelitian Eksperimen dan Penelitian Tindakan Kelas sebagai KTI, makalah pada pelatihan peningkatan mutu guru di Makasar, Jakarta tahun 2005
Suharsimi Arikunto, Suhardjono, Supardi (2006) Penelitian Tindakan Kelas, Jakarta : Bumi Aksara
Suriasumantri, Jujun S. (1984). Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Sinar Harapan Baca Selanjutnya..
Labels : news investment systems Anti Vir free template car body design