BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 1
Pendahuluan http://www.blogger.com/img/gl.spell.gif
eformasi bidang politik di Indonesia pada penghujung abad ke-20 M, telah membawa
perubahan besar pada kebijakan pengembangan sector pendidikan, yang secara umum
bertumpu pada dua paradigma baru yaitu otonomisasi dan demokratisasi. Undang-undang
Nomor 32 tahun 2004 Tentang Otonomi Daerah telah meletakkan sektor pendidikan sebagai salah satu
yang diotonomisasikan bersama sektor-sektor pembangunan yang berbasis kedaerahan lainnya, seperti
kehutanan, pertanian, koperasi, dan pariwisata. Otonomisasi sektor pendidikan kemudian didorong pada
sekolah, agar kepala sekolah dan guru memiliki tanggung jawab besar dalam peningkatan kualitas proses
pembelajaran untuk meningkatkan kualitas hasil belajar. Baik guru dan kepala sekolah, karena
pemerintah daerah hanya memfasilitasi berbagai aktivitas pendidikan, baik sarana, prasarana, ketenagaan,
maupun berbagai program pembelajaran yang direncanakan sekolah.
Bersamaan dengan itu, pemerintah juga mengeluarkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang
Sistem Pendidikan Nasional, sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989. Salah satu isu
penting dalam undang-undang tersebut adalah pelibatan masyarakat dalam pengembangan sektor
pendidikan, sebagaimana ditegaskan pada pasal 9 bahwa masyarakat berhak untuk berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan dan evaluasi program pendidikan. Pasal ini merupakan kelanjutan
dari pernyataan pada pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan di Indonesia diselenggarakan secara demokratis
dan berkeadilan. Demokratisasi pendidikan merupakan implikasi dari dan sejalan dengan kebijakan
mendorong pengelolaan sector pendidikan pada daerah, yang implementasinya di tingkat sekolah.
Berbagai perencanaan pengembangan sekolah, baik rencana pengembangan sarana dan alat, ketenagaan,
kurikulum serta berbagai program pembinaan siswa, semua diserahkan pada sekolah untuk
merancangnya serta mendiskusikannya dengan mitra horizontalnya dari komite sekolah.
Terkait dengan demokratisasi penyelenggaraan sekolah ini, setidaknya ada tiga aspek yang menjadi pusat
perhatian dalam kajian ini, yakni demokratisasi dalam penyusunan, pengembangan dan implementasi
kurikulum di sekolah, demokratisasi dalam proses pembelajaran sejak penyiapan program pembelajaran,
sampai implementasi proses pembelajaran dalam kelas dengan memberikan perhatian pada aspirasi
siswa, tidak mengabaikan mereka yang lamban dalam proses pemahaman, dan tidak merugikan mereka
yang cepat dalam pemahaman bahan ajar. Semua memperoleh pelayanan yang proporsional, dan semua
harus berakhir dengan batas minimal pencapaian kompetensi sesuai angka yang ditetapkan bersama
dalam koridor mastery learning. Kemudian, semua upaya demokratisasi tersebut juga tidak akan efektif
membawa berbagai perubahan tanpa didukung dengan pola pengelolaan sekolah yang sesuai. Oleh sebab
itulah, model manajemen yang harus dikembangkan dalam konteks demokratisasi sekolah tersebut
adalah manajemen yang demokratis, yang memperbesar pelibatan teamwork dalam proses pengambilan
putusan, perencanaan program, pendistribusian tugas dan wewenang, serta perubahan paradigma dalam
menilai produktivitas kerja setiap unsur dalam organisasi sekolah, dengan orientasi kepuasan pelanggan.
Demokratisasi dalam kurikulum dan proses pembelajaran tidak akan berjalan dengan baik bila pola
pengelolaan sekolahnya otokratis, sentralistik dan kurang aspiratif serta kurang pelibatan mitra horizontal
sekolah. Usulan-usulan kreatif guru akan selalu tersandung oleh aturan-aturan birokrasi dan kekuasaan
vertikal. Oleh sebab itu, demokratisasi kurikulum dan pembelajaran harus diimbangi dengan
demokratisasi dalam pengelolaan dan manajemen sekolah, dengan pelibatan seluruh unsur dalam
organisasi sekolah tersebut, bahkan dalam batas-batas tertentu, juga melibatkan client dan user sekolah,
khususnya dalam evaluasi dan pengembangan kurikulum, serta upaya-upaya mengimplementasikan
berbagai program dan gagasan cerdas pengembangan sekolah.
Praktik sekolah demokratis ini tentu memerlukan pelibatn. Dalam konteks assessment kurikulum,
pelibatan aspiratif untuk menjaring berbagai gagasan pengembangan, bisa dilakukan pada semua level
sekolah. Akan tetapi, dalam konteks pelibatan siswa dalam pengembangan proses pembelajaran, masih
belum secara totalitas dikembangkan secara demokratis, khususnya untuk level sekolah dasar dan
prasekolah, walupun berbagai penelitian di negara maju telah dicobakan sampai pada level taman kanak-
kanak.
Bab
1
R BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 2
Sekolah Demokratis
MENGAPA REFORMASI DALAM PENDIDIKAN
emasuki abad ke-21, isu tentang perbaikan sektor pendidikan di Indonesia mencuat ke
permukaan, tidak hanya dalam jalur pendidikan umum, tapi semua jalur dan jenjang
pendidiikan, bahkan upaya advokasi untuk jalur pendidikan yang dikelola oleh beberapa
departemen teknis, dengan tuntutan social equity sangat kuat yang tidak hanya disuarakan oelah
Departemen terkait sebagai otoritas pengelola jalur pendidikan tersebut, tapi juga oleh para praktisi dan
mengambil kebijakan dalam pembangunan sektor pembinaan sumber daya manusia, karena semua jenis,
jalur dan jenjang pendidikan merupakan unsur-unsur yang memberikan kontribusi terhadap rata-rata
hasil pendidikan secara nasional. Dengan demikian, kelemahan proses dan hasil pendidikan dari sebuah
jalur pendidikan akan mempengaruhi indeks keberhasilan pendidikan secara keseluruhan.
Bersamaan dengan itu, di awal abad ke-21 ini, prestasi pendidikan di Indonesia tertinggal jauh di bawah
negara-negara Asia lainnya, seperti Singapura, Jepang, dan Malaysia. Bahkan jika dilihat dari indeks
sumber daya manusia, yang salah satu indikatornya adalah sector pendidikan, posisi Indonesia kian
menurun dari tahun ke tahun. Padahal Indonesia kini sudah menjadi bagian dari masyarakat dunia yang
sudah tidak bisa dihindari. Indonesia kini menjadi bagian dari kompetisi masyarakat dunia. Jika tidak bisa
menjadi pemenang, maka akan menjadi yang kalah serta tertinggal dari masyarakat lainnya, khususnya
dalam meraih pasar dan peluang kesempatan kerja yang tidak dibatasi oleh garis wilayah kenegaraan, tapi
bergerak kian meluas, dan kini dimulai dari wilayah Asia Tenggara yang akan terus bergerak menjadi
wilayah dunia. Oleh sebab itu, penyiapan sumber daya manusia yang berkualitas, kompetitif serta
memiliki berbagai keunggulan komparatif menjadi sebuah keharusan yang mesti menjadi perhatian dalam
sektor pendidikan.
Terkait dengan persoalan serta pandangan di atas, ada beberapa pemikiran tentang pengembangan
konteks pendidikan ke depan dalam memasuki abad ke-21 yang membawa berbagai problematika
ekonomi, sosial dan politik sebagaimana telah dikemukakan di atas. Pemikiran-pemikiran tersebut adalah,
sebagai berikut:
1. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta informasi membuat bahan-bahan ajar yang
harus disampaikan dalam proses pendidikan menjadi sangat banyak, dan bisa dikhawatirkan akan
membuat stagnasi pengembangan ilmu dan peradaban, khususnya pada level pendidikan tinggi. Oleh
sebab itu, struktur program pendidikan tinggi harus mampu memberikan jaminan pemberian reward
dan insentif yang memadai untuk pengembangan ilmu dan teknologi pada level pendidikan tinggi
tersebut, sehingga temuan-temuan baru dalam bidang sains dan teknologi terus bertambah, dan
peradaban terus meningkat.
2. Perkembangan teknologi akan terjadi terus-menerus dan bisa terjadi dalam percepatan yang tingi di
berbagai negara yang berbeda-beda, dan akan mempengaruhi perkembangan ekonomi melalui
industri dan jasa. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu menjembatani antara sektor kerja dengan
kemajuan ilmu dan teknologi tersebut, melalui updating skill dan keterampilan serta berbagai temuan
baru yang harus dikuasai oleh pekerja yang terkait dengan kemajuan ilmu dan teknologi.
3. Perubahan demografis akan terjadi di mana-mana dan akan membawa implikasi pada distribusi
penduduk berdasarkan usia. Di negara-negara tertinggal akan memiliki indeks kelahiran yang tinggi.
Dengan demikian, angka usia sekolah dasar juga tinggi, dan akan terus meminta perhatian untuk
memperoleh prioritas. Sementara di negara-negara maju, angka kelahiran cenderung menurun.
Dengan demikian, pada decade-dekade awal di abad ke-21 ini, negara-negara maju akan kekurangan
usia angkatan kerja, sementara angka pension konstan atau mungkin meningkat, dan membutuhkan
jaminan social dan kesehatan. Dengan demikian, negara-negara maju akan terus meningkatkan
pendapatan negaranya melalui sector pajak dari sektor usaha jasa agar tetap bisa memberi jaminan
bagi mereka yang pension, namun pada saat yang sama, negara maju akan sangat bergantung pada
negara berkembang atau negara tertinggal, untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja. Oleh sebab itu,
Bab
2
M BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 3
negara-negara berkembang harus merancang outcome pendidikannya agar bisa memasuki pasar
global untuk angkatan tenaga kerja, mereka harus memiliki skill dan keterampilan, menguasai bahasa
komunikasi global, dan memahami kultur negara-negara yang akan dikunjunginya.
4. Negara-negara terus akan menjadi saling ketergantungan satu dengan lainnya, yang tidak saja dalam
sector ekonomi dengan dibukanya pasar uang di setiap negara, tapi juga sector politik dan ilmu
pengetahuan dan teknologi. Oleh sebab itu, pendidikan harus mampu membuka cakrawala global
tersebut, dan mampu mengarahkan sikap-sikap multikulturalisme, yang harus mereka miliki ketika
akan memasuki pasar tenaga kerja di dalam maupun di luar negeri.
5. Kemajuan ilmu dan teknologi yang mendorong kemajuan sector ekonomi dengan keterbukaan pasar
secara global, akan membawa implikasi terbentuknya masyarakat dunia baru. Pendidikan harus
mampu mendesain masyarakat tersebut sebagai masyarakat humanis, cinta lingkungan, memelihara
kestabilan ekosostem, antidrug, dan senantiasa hidup sehat.
Pandangan dan analisis di atas setidaknya merefleksikan beberapa faktor penting yang mendasari
pentingnya reformasi pendidikan, yaitu:
1. Kegagalan pendidikan yang telah dilalui beberapa tahun silam dengan indicator rendahnya kualitas
rata-rata hasil belajar siswa yang akan memasuki jenjang perguruan tinggi.
2. Perkembangan perekonomian dunia yang membuka akses pasar global, yang harus dihadapi dengan
kesiapan kualitas SDM kompetitif.
Di samping, itu ada beberapa analisis rational mengapa reformasi pendidikan itu mutlak dilakukan dalam
menghadapi era globalisasi di abad ke-21, dengan mengadaptasi terhadap argument-argumen William J.
Mathis dari Vermont University (Mathis, 1994): 12-19), yaitu:
1. Perubahan pola pikir masyarakat akibat demokratisasi yang terus berpenetrasi pada seluruh aspek
kehidupan, sehingga sekolah harus mampu memberikan layanan kepada masyarakat konstituennya
secara fair, karena mereka adalah stakeholder-nya, dan sekaligus client dari sekolah tersebut.
Masyarakat adalah kontributor terhadap sekolah (tidak terkecuali sekolah negeri, karena budgeting
sekolah negeri dari anggaran pemerintah, yang juga adalah uang dari rakyat), dan mereka memiliki
hak untuk dilayani.
2. Perubahan dunia yang sangat cepat, dan para siswa harus dipersiapkan untuk menghadapi berbagai
perubahan tersebut, tidak hanya dalam aspek kemampuan komunikasi, tapi juga kecakapan dan
kemampuan penyesuaian diri dengan perubahan-perubahan tersebut. Tantangan ke depan adalah
keragaman permintaan pasar, dan sekolah harus mampu mempersiapkan orang-orang yang akan
mengisi kebutuhan tersebut. Sumber daya manusia yang diserap sekolah juga membawa keragaman
tersebut. Dengan demikian tidak fair kalau semua siswa harus memiliki hanya satu keterampilan yang
sama, dan jika terjadi, itu merupakan tragedy dalam masyarakat demokratis, karena masyarakat
demokratis menghargai keragaman.
3. Kemajuan teknologi dalam semua sektor industri dan pelayanan jasa akan kian menggeser posisi
manusia. Kecanggihan alat-alat teknologi semakin mengefisiensikan proses industri dan layanan jasa.
Dengan demikian, pendidikan harus mempersiapkan SDM agar tidak tergeser oleh alat-alat modern
itu, tapi justru menjadi bagian dari kemajuan-kemajuan tersebut.
4. Penurunan standar hidup, yakni bahwa pada generasi sebelum mereka, cadangan natural resource
sangat kuat, dan seluruh umat manusia terpenuhi berbagai kebutuhan hidupnya oleh cadangan alam
semesta. Pada generasi mereka, cadangan tersebut akan semakin menipis dan akan semakin habis.
Dengan demikian akan terjadi penurunan standar hidup dan mereka harus diberitahu tentang
kemungkinan-kemungkinan tersebut, yang bisa diatasi dengan penemuan-penemuan teknologi baru,
serta dengan adanya kerjasama global antar satu bangsa dengan lainnya. Inilah intinya kehidupan
demokratis dengan penguatan jaringan antar bangsa.
5. Perkembangan ekonomi akan semakin mengglobal, berbagai perusahaan yang berkantor pusat di
Amerika atau jepang misalnya, memiliki kantor-kantor perwakilan di berbagai negara melalui
kerjasama investasi bersama pengusaha lokalnya masing-masing. Ini adalah trend perkembangan
ekonomi global ke depan, yang harus diketahui oleh para siswa sebagai sebuah kenyataan yang tidak
mungkin dihindari. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 4
6. Peranan wanita semakin kuat, posisi wanita tidak lagi marginal. Mereka memiliki hak dan peluang
yang sama dalam karir dan pekerjaan dengan pria. Tidak ada diskriminasi pekerjaan atas dasar
gender.
7. Pemahaman doktrin keagamaan kian terbuka dan inklusif. Agama tidak menjadi penghalang
kemajuan, tapi justru mendorong perubahan-perubahan untuk perbaikan.
8. Peran media massa yang terus menguat, baik dalam mensosialisasikan berbagai perubahan social,
mengkritik berbagai kebijakan maupun sebagai media untuk memperoleh berbagai hiburan
alternative atau sumber informasi tambahan, melalui berbagai program televise, yang semuanya bisa
menjadi kontributor pendidikan yang positif, dan bisa juga menjadi kendala yang negative bagi
program-program pendidikan.
Pengembangan sekolah menuju model sekolah demokratis ini relevan untuk dilakukan karena berbagai
argumentasi, yang secara garis besar dapat dikategorisasi menjadi dua, yaitu tipologi sekolah abad ke-21,
dan model pembelajaran yang sesuai. Dalam konteks pertama, Lyn Haas (haas, 1994) menjelaskan,
bahwa sekolah-sekolah sekarang harus dapat memenuhi beberapa kualifikasi ideal, yaitu:
1. Pendidikan untuk semua; yakni semua siswa harus memperoleh perlakuan yang sama, memperoleh
pelajaran sehingga memperoleh peluang untuk mencapai kompetensi keilmuan sesuai batas-batas
kurikuler, serta memiliki basis skill dan keterampilan yang sesuai dengan minat mereka, serta sesuai
pula dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Paradigma yang memisahkan pendidikan akademik
sebagai calon untuk memasuki pasar tenaga kerja, sudah tidak relevan lagi, karena perubahan yang
menuntut masyarakat untuk menjadi bagian dari kontribusi untuk kemajuan.
2. Memberikan skill dan keterampilan yang sesuai dengan kemajuan teknologi terkini, karena pasar
menuntut setiap tenaga kerjanya memiliki keterampilan penggunaan alat-alat teknologi termodern,
kemampuan komunikasi global, matematika, serta kemampuan akses pada pengetahuan.
3. Penekanan pada kerjasama, yakni menekankan pada pengalaman para siswa dalam melakukan
kerjasama dengan yang lain, melalui penugasan-penugasan kelompok dalam proses pembelajaran,
sehingga mereka memiliki pengalaman mengembangkan kerjasama, karena trend pasar ke depan
adalah pengembangan kerjasama, baik antara perusahaan, atau antara perusahaan dengan masyarakat
dan yang lainnya, sehingga pengalaman mereka belajar akan sangat bermanfaat dalam artikulasi diri di
lapangan profesi mereka.
4. Pengembangan kecerdasan ganda; yakni bahwa para siswa harus diberi kesempatan untuk
mengembangkan multiple intelligence mereka, dengan memberi peluang untuk mengembangkan skill
dan keterampilan yang beragam, sehingga mudah melakukan penyesuaian di pasar tenaga kerja.
5. Integrasi program pendidikan dengan kegiatan pengabdian pada masyarakat, agar mereka memiliki
kepekaan social.
Persoalan besar dalam UU No. 22 tahun 1999 adalah perubahan radikal dalam otoritas pengembangan
pendidikan yang semula berada dalam kekuasaan pemerintah pusat melalui Depdiknasnya, kini
terdelegasikan pada pemerintah daerah. Dan kini perubahan radikla tersebut memperoleh penguatan
dengan diundangkannya UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas), yang
menegaskan dalam pasal 4 ayat 1 bahwa pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan
serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai cultural, dan
kemajemukan bangsa. Poin penting dalam ayat ini adalah penegasan bahwa pendidikan diselenggarakan
secara demokratis, artinya, bahwa keterlibatan masyarakat dan otoritas pengelola serta institusi-institusi
pendukungnya akan lebih besar daripada pemerintah pusat.
Bersamaan dengan itu pula dalam pasal 9 dinyatakan bahwa masyarakat berhak berperan serta dalam
perencanaan, pelaksanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan. Keikutsertaan masyarakat
dapat diwujudkan dalam bentuk keterlibatan mereka dalam komite sekolah atau dewan pendidikan
daerah. Komite sekolah berhak ikut serta dalam merumuskan perencanaan pendidikan, tidak saja dalam
perencanaan makro tapi sampai pada kebijakan restrukturisasi kurikulum, walaupun dalam batas-batas
gagasan besar dan tidak harus memasuki wilayah teknis, karena itu sudah menjadi otoritas guru dan
kepala sekolahnya. Demikian pula dengan evaluasi keberhasilan sekolah. Menurut pasal 9 di atas,
masyarakat berhak untuk melakukan evaluasi terhadap sekolah, tidak saja dalam kerangka program
pendidikan secara makro, tapi pada wilayah mikro, kebijakan pengembangan sekolah dalam semua
aspeknya. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 5
Kemudian pemerintah daerah juga diberi kewenangan oleh undang-undang sebagaimana dicantumkan
dalam pasal 10 dinyatakan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah berhak men garahkan,
membimbing, membantu dan mengawasi penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Sedangkan pada pasal 11 ayat 1 dan 2 dinyatakan bahwa pemerintah
dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya
pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi. Kemudian pemerintah dan
pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga
negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 6
Demokratisasi
Pengembangan Kurikulum
KURIKULUM, PENGERTIAN DAN MACAM-MACAMNYA
au dibawa ke mana anak-anak oleh sekolah, siapa yang paling berhak menentukan arah dan
kebijakan sekolah. Ini merupakan pertanyaan-pertanyaan mendasar dalam penyelenggaraan
sekolah, dalam sistem atau pendekatan apa pun. Semangat demokratis dalam penyelenggaraan
sekolah akan menginspirasi bahwa public sekolah memiliki hak yang sangat kuat dan sangat besar dalam
penetapan arah kebijakan kurikulum sekolah, barangkali sama kuatnya dengan pemerintah sendiri, karena
client sekolah adalah publiknya dan pemerintah yang juga dalam konteks lain sebagai user, bukan
terbatas dalam aspek penerimaan tenaga kerja pada instansi pemerintah saja, tapi lapangan kerja secara
lebih luas di semua sector, pertanian, industri, jasa atau lainnya, di dalam negeri maupun di luar negeri.
Semakin kompetitif SDM bangsa, maka akan semakin meningkat dignity bangsa tersebut di hadapan
bangsa-bangsa lainnya. Sebaliknya semakin merosot daya saingnya, maka akan semakin menurun pula
nation dignity-nya. Dengan demikian, public sekolah dan pemerintah sama-sama memiliki kepentingan
dalam penetapan arah dan pendidikan anak-anak di sebuah sekolah.
Kurikulum merupakan inti dari sebuah sekolah, karena kurikulumlah yang mereka tawarkan pada
publiknya, dengan dukungan SDM guru berkualitas, serta sarana sumber belajar lainnya yang memadai.
Diskursus tentang kurikulum masih terus berjalan, apakah kurikulum itu hanya bermakna Cource Out
Line atau GBPP, atau mencakup seluruh pengalaman yang diberikan pada anak dalam proses
pendidikannya oleh guru. Dalam konteks ini Ronald C. Doll menjelaskan bahwa kurikulum sudah tidak
lagi bermakna sebagai rangkaian bahan yang akan dipelajari serta urutan pelajaran yang akan dipelajari
siswa, tapi seluruh pengalaman yang ditawarkan pada anak-anak peserta didik di bawah arahan dan
bimbingan sekolah. Pengalaman yang diperoleh siswa dari program-program yang ditawarkan sekolah
amat variatif, tidak sebatas hanya pembelajaran di dalam kelas, tapi juga lapangan tempat mereka
bermain di sekolah , kantin, dan bahkan bis sekolah. Semua itu memberikan kontribusi pengembangan
siswa, yang mempengaruhi perubahan-perubahan pada mereka.
Sesuai pengertian di atas, maka kurikulum, sebagaimana dikemukakan Sukmadinata memiliki beberapa
karakteristik. yaitu:
1. Kurikulum sebagai suatu substansi, yakni bahwa kurikulum adalah sebuah rencana kegiatan belajar
para siswa di sekolah, yang mencakup rumusan-rumusan tujuan, bahan ajar, proses kegiatan
pembelajaran, jadwal dan evaluasi hasil belajar. Kurikulum tersebut merupakan sebuah konsep yang
telah disusun oleh para ahli dan disetujui oleh para pengambil kebijakan pendidikan serta masyarakat
sebagai user dari hasil pendidikan.
2. Kurikulum sebagai sebuah sistem, yakni bahwa kurikulum merupakan rangkaian konsep tentang
berbagai kegiatan pembelajaran yang masing-masing unit kegiatan memiliki keterkaitan secara
koheren dengan lainnya, dan bahwa kurikulum itu sendiri memiliki keterkaitan dengan semua unsure
dalam ssistem pendidikan secara keseluruhan.
3. Kurikulum merupakan sebuah konsep yang dinamis, yakni bahwa kurikulum merupakan konsep
yang terbuka dengan berbagai gagasan perubahan serta penyesuaian-penyesuaian dengan tuntutan
pasar atau tuntutan idealisme pengembangan peradaban umat manusia.
Bersamaan dengan itu, Allan A. Glatthorn juga menjelaskan tiga variable penting dalam pengelolaan dan
pengembangan sekolah, dan menjadi bagian integral dari hidden curriculum yaitu:
1. Variabel organisasi
2. Variabel sistem social
3. Variabel budaya
a. Rumusan tujuan sekolah yang jelas dan dapat dipahami oleh semua unsurnya, sebagai hasil
konsensus antara pengelola adminsitrasi dan guru.
b. Pengelola administrasi memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap guru dan begitu juga sebaliknya,
guru memiliki ekspektasi yang tinggi terhadap tenaga administrasi.
c. Pengelola administrasi dan guru memiliki ekspektasi yang baik terhadap para siswa yang
diartikulasikan dengan penguatan pelayanan akademik pada mereka.
Bab
3
M BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 7
d. Pemberian hadiah terhadap mereka yang mencapai prestasi terbaik, dan pemberian hadiah serta
hukuman yang dilakukan secara fair dan konsisten kepada para siswa
Demokratisasi Pengembangan Kurikulum
Gambar 1
Tentang Model Perumusan Kurikulum Yang Relevan
Untuk Dikembangkan
(Adaptasi Dari Westmeyer)
Analysis of Need of
Clients, And Users
Psychological
Bases For Curriculum
Identifikasi Masalah
Indikator-Indikator
Kompetensi
Materi Pelajaran
Analysis Sekuensi
dan Ranah
Pilihan Strategi
Materi Dasar
Analisis Kebutuhan Siswa
dan Permintaan Orang tua
Pilihan Evaluasi Pilihan Alat BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 8
Demokratisasi Pengembangan Kurikulum
Gambar 2
Bidang-Bidang Yang Mempengaruhi Keputusan Kurikulum
(Adaptasi Wiles-Bondi).
Gambar 3
Taksonomi Pilihan Kurikulum.
Pilihan Eclectic
Aliran ini dikembangkan teritama oleh Ralph Tyler dalam bukunya Basic Principles of Curriculum and
Instructions, yang mengembangkan empat pertanyaan dalam penyusunan kurikulum, yaitu:
1. Apa tujuan pendidikan yang hendak dicapai sekolah?
2. Bagaimana mengembangkan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan?
Concern
Filosofi dan
Tujuan
Sistem
Pembelajaran
Pendidikan
Guru
Manajemen
Pembelajaran
Pengembangan
Materi
K
e
m
a
r
i
n
B
e
s
o
k
Regresif Konservatif Liberal Eksperimen- Regeneratif
tasl
Perenialisme Esensialisme Progresifisme Rekonsitruksionisme
Rasionalisme Perkembangan Kurikulum Rekonstruksi Aktualisasi
Akademis Proses Kognitif Sbg Teknologi Sosial Diri
Bercorak Bercorak Bercorak Bercorak Bercorak
Klasikal Disiplin Analitis Futuristik Psichological
Humanistik Humanistik BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 9
3. Bagaimana mengembangkan pengalaman belajar yang efektif dalam proses pembelajaran?
4. Bagaimana proses pembelajaran efektif itu bisa dievaluasi?
KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI, APA, MENGAPA, DAN BAGAIMANA?
Bergulirnya UU No. 22 tahun 1999 membawa perubahan banyak pada kebijakan berbagai sector
pembangunan, dan salah satunya adalah sector penddikan yang menjadi bagian dari sector-sektor yang
diotonomisasikan pada daerah. Kajian dan pembahasan tentang otonomisasi sector pendidikan
kemudian memunculkan sebuah paradigma baru, karena jika pengalihan otoritas pemerintah pusat pada
daerah, maka pemerintah daerah akan menjadi serta kinerja para pelaksanaan dan pengelola pendidikan
di tingkat sekolah. Oleh sebab itu, kebijakan yang cukup cerdas dan kini telah bergulir di daerah-daerah
dalam rangka implementasi otonomi dalam pengelolaan pendidikan adalah, menugaskan pemerintah
daerah untuk memfasilitasi program perluasan serta pengembangan dan peningkatan kualitas pendidikan,
sementara berbagai kebijakan akademisnya, baik dimensi pengembangan kurikulum maupun pengelolaan
berbagai aspek operasional pendidikan, menjadi tugas dari setiap unit sekolah. Dengan demikian,
otonomi pendidikan, pada aspek-aspek akademik, inisiasi pengembangan networking horizontal, serta
peningkatan kinerja tenaga kependidikan dan layanan administrasi pendidikan, berada pada tingkat
sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
1. Apa itu Kurikulum Berbasis Kompetensi
Kalau Doll mendefinisikan bahwa kurikulum itu adalah seluruh pengalaman yang ditawarkan pada
peserta didik di bawah arahan dan bimbingan sekolah, lalu apakah KBK juga mempunyai definisi
yang sama, karena intinya juga kurikulum, hanya aksentualisasinya saja yang berbeda. Siskandar
kepala pusat kurikulum Depdiknas mengemukakan, bahwa kurikulum berbasis kompetensi tiada lain
adalah pengembangan kurikulum yang bertitik tolak dari kompetensi yang seharusnya dimiliki siswa
setelah menyelesaikan pendidikan, yang meliputi pengetahuan, keterampilan, nilai dan pola berpikir
serta bertindak sebagai refleksi dari pemahaman dan penghayatan dari apa yang telah dipelajari siswa.
Demikian pula dengan Abdurrahman Saleh, dia menyatakan bahwa kurikulum berbasis kompetensi
adalah perangkat standar program pendidikan yang dapat mengantarkan siswa untuk menjadi
kompeten dalam berbagai bidang kehidupan yang dipelajarinya.
Bertitik tolak dari pandangan tersebut, maka pembahasan KBK terbatas pada pertimbangan
penyusunan struktur kurikulum serta silabus dari setiap subjek mata pelajaran, termasuk berbagai
kegiatan pembelajaran yang merupakan implikasi dari penekanan KBK tersebut. Dengan demikian,
kompetensi merupakan pusat perhatian dalam perancangan kurikulum, berbagai kebijakan pusat
perhatian dalam perancangan berbagai aktivitas belajar lainnya, mengikuti arah dan tujuan dari
pembinaan kompetensi-kompetensi yang diharapkan.
Lalu apa sebenarnya kompetensi itu. Siskandar mengemukakan, bahwa kompetensi itu adalah
pengetahuan, keterampilan dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak.
Demikian pula dengan rumusan yang dikemukakan dalam buku standar kurikulum nasional
pendidikan keagamaan, bahwa kompetensi adalah pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai yang
direfleksikan dalam kebiasaan berpikir dan bertindak. Dan kebiasaan-kebiasaan itu harus mampu
dilaksanakan secara konsisten dan terus-menerus, serta mampu untuk melakukan penyesuaian-
penyesuaian dengan berbagai perubahan yang terjadi dalam kehidupan,baik profesi, keahlian,
maupun lainnya.
Kemudian, perumusan kompetensi dalam kurikulum juga harus memenuhi beberapa aspek penting,
yaitu:
a. Kompetensi tersebut harus dapat didefinisikan secara jelas dalam standar yang dapat dicapai serta
performance yang terukur.
b. Kompetensi itu harus memiliki konteks, apakah konteks profesionalisme yang memerlukan
keahlian-keahlian tertentu, keterampilan yang digunakan dalam lapangan pekerjaan, kompetensi
komunikasi global, atau kompetensi akademik untuk studi lanjut.
c. Kompetensi merupakan learning outcome yang mendeskripsikan apa yang dapat dibuat
seseorang setelah melalui proses pembelajaran.
d. Terkait dengan itu, maka kompetensi juga harus mendeskripsikan proses pembelajaran yang
harus dilalui siswa untuk mencapai kompetensi harapan. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 10
2. Mengapa Kurikulum Berbasis Kompetensi
Setiap kurikulum disusun dengan end-product berbagai kompetensi, termasuk kurikulum 1994, dan
kurikulum-kurikulum sebelumnya, hanya saja pada kurikulum-kurikulum tersebut rumusan
kompetensi diformat dalam bentuk rumusan tujuan, yang disusun secara hierarkis dari tujuan
nasional, institusional, tujuan kurikuler, tujuan pembelajaran umum dan khusus. Kompetensi terlihat
dalam rumusan tujuan pembelajaran khusus yang akan terakumulasi menjadi tujuan pembelajaran
umum, dan seterusnya sampai tujuan nasional. Rangkaian isi tujuan pada masing-masing tahap itu
berisi berbagai rumusan kompetensi yang diharapkan sebagai hasil pembelajaran.
Kendati demikian, ada beberapa perbedaan distingtif antara kurikulum 94 dengan kurikulum berbasis
kompetensi, yaitu:
a. Kurikulum 94 disusun oleh pemerintah pusat melalui departemen pendidikan nasional (dulu
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan), dan daerah hanya diberi kewenangan menyusun
kurikulum muatan local maksimal 20%. Sedangkan dalam KBK, pemerintah hanya menyusun
kompetensi standar, sementara elaborasi sylabus-nya diserahkan pada daerah, yang selanjutnya
diserahkan pada sekolah dengan para gurunya. Dan pada KBK, sekolah dengan para gurunya
juga memiliki otoritas, tidak hanya menyusun sekwensi kurikulum tersebut yang lebih sistematis
dan sistematik, namun mereka juga memiliki otoritas untuk memberikan penguatan-penguatan
content of learning, baik atas dasar pertimbangan penguasaan siswa, maupun dalam upaya
mengejar benchmark sekolahnya.
b. Kurikulum 94 pendekatan pembelajaran dan pengembangan kurikulum berbasis tujuan dan
content, sedangkan pada KBK pengembangan kurikulum berbasis pada pengembangan
kompetensi.
Aspek-aspek lain yang juga menjadi cirri KBK dibandingkan dengan kurikulum 94 adalah:
a. Sebagai konsekuensi perumusan kurikulum oleh pemerintah pusat, maka guru harus mampu
memahami strukturnya dengan baik, serta merancang penyampaiannya pada siswa. Untuk itu
semua, guru harus melakukan Analisis Materi Pelajaran (AMP) untuk melakukan penyesuaian
metode, alat dan waktu yang diperlukan untuk melakukan proses pembelajaran, serta diikuti
dengan penyusunan Program Satuan Pelajaran (PSP) dan Rencana Pembelajaran (RP).
Sedangkan dalam kurikulum berbasis kompetensi, guru harus merancang silabus yang relevan
dengan kompetensi yang diharapkan, serta menetapkan strategi pembelajaran dan penugasan-
penugasan pada siswa.
b. Dalam proses pembelajaran, kurikulum 94 juga pada hakikatnya menuntut siswa lebih aktif untuk
melakukan proses pembelajaran dan menjadikan sekolah sebagai center for learning bukan center
for teaching. Akan tetapi, implementasi active learning yang semata bertumpu pada lembar kerja
siswa (LKS), proses pembelajaran menjadi sangat monoton dan kurang menyenangkan, serta
kurang memberi ruang bagi siswa untuk mengartikulasikan diri sehingga memperoleh pengakuan
lingkungannya. Oleh sebab itu, KBK active learning akan menjadi aksentuasi dengan perluasan
pada model cooperative dan collaborative learning yang perancangan strategi serta sistem
penilaiannya dibicarakan dengan siswa yang dituangkan dalam bentuk kontrak belajar, sehingga
proses pembelajaran berjalan secara demokratis, dan menjangkau seluruh ranah yang diharapkan
dalam proses pembelajaran.
c. Demikian pula dengan penilaian; pada periode keberlakuan kurikulum 94, penilaian lebih
menekankan aspek kognitif dengan akumulasi antara nilai formatif, sumatif, sub-sumatif, serta
prosedur tes lainnya. Sementara pada kurikulum berbasis kompetensi penilaian harus dilakukan
secara variatif dan holistic tergantung kompetensi yang harus dicapainya. Untuk kompetensi
kognitif penilaian kognitif dengan menggunakan instrument tes, sedangkan kompetensi afektif
harus diukur dengan instrument pengukuran sikap yang di asses dengan instrument non-tes,
sementara adaptasi pengetahuan pada kebiasaan dinilai dengan instrument-instrumen observasi,
portofolio, serta model penilaian lainnya.
Gambar 4
Struktur Kompetensi Dalam KBK
Kompetensi Lulusan
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
I
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
II
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
III BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 11
Gambar 5
Pola Hubungan Kerja Unsur-Unsur Pendukung
Kurikulum Berbasis Kompetensi
Antara Satu Dengan Lainnya
Sedangkan penilaian berbasis kelas adalah penilaian yang dilakukan guru terhadap kemajuan siswa dalam
mencapai kompetensi yang diharapkan dan telah ditetapkan dalam kurikulum. Penilaian tersebut perlu
dilakukan untuk memastikan bahwa siswa telah mengalami banyak perubahan sebagai hasil dari proses
pembelajarannya. Penilaian dilakukan secara individual dengan signifikansi sebagai berikut:
1. Untuk mendiagnosis kekuatan dan kelemahan dari masing-masing siswa.
2. Untuk memonitor kemajuan siswa.
3. Menilai efektivitas proses pembelajaran.
4. Menilai efektivitas proses pembelajaran.
Gambar 6
Rangkaian Kegiatan Menuju Pola Belajar Tuntas Dikutif
Kurikulum dan
Hasil Belajar
Pengelolaan
KBS
Penilaian
Berbasis Kelas
Kegiatan
Pembelajaran
Kerangka
Dasar
KBK
Hasil Belajar
Hasil Belajar
Hasil Belajar BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 12
d. Berbagai Pendekatan Dalam Penyusunan KBK
1. Relevansi
2. Kontinuitas
3. Fleksibel
Sementara itu, untuk pengembangan kurikulum ini, dalam prinsip KBK dikemukakan dalam
buku kebijakan pengembangan kurikulum madrasah, bahwa pengembangan kurikulum itu
harus dilakukan secara komprehensif dengan memperhatikan berbagai pendekatan sebagai
berikut (Mapenda, 2003).
1. Sistematis dan sistemik
2. Kemitraan
3. Pengembangan
4. Relevansi
5. Validasi.
5. Prosedur Pengembangan KBK di Tingkat Sekolah
1) Kompetensi Kognitif
a. Knowledge
b. Comprehension
c. Application
d. Analysis
e. Synthesis
f. Evaluation
2) Kompetensi Afektif
a. Receiving
b. Responding
c. Valuing
d. Organiazation
e. Characterization
3) Kompetensi Psikomotorik
a. Observing
b. Imitating
c. Practicing
d. Adapting
BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 13
Gambar
Kewenangan Masing-Masing Unit
Adaptasi Dari Wiles
Gambar 8
Aspek-Aspek Yang Harus Dianalisis Dalam Pengembangan Kurikulum Adaptasi Dari Westmeyer
a. Penyiapan Peraturan Pemerintah
b. Penyiapan Standar kompetensi
tingkat nasional
c. Penyiapan anggaran
a. Penyesuaian buku teks
b. Penyesuaian aturan-aturan
a. Komite pendidikan
b. Pengalokasian anggaran
c. Fasilitasi pendidikan
a. Koordinasi program
b. Komite kurikulum
c. Pelayanan administrasi
a. Rancangan kompetensi dan
indikator kompetensi, serta
materi pelajaran
b. Perencanaan pembelajaran
c. Strategi pembelajaran dan
evaluasi
Pemerintah
Pusat
Pemerintah
Propinsi
Pemerintah
Tingkat Kab.
Sekolah
Kelas/Guru
Harapan
Kurikulum
Masyarakat
Luas
Budaya Masyarakat Lokal
Disiplin Siswa BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 14
BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 15
Mengajar Yang Membelajarkan
MENGAJAR DAN BELAJAR
engajar, inilah kata kunci yang sangat mempengaruhi keberhasilan sebuah proses pendidikan,
dan mengajar pulalah yang mendapat kritik keras dari Paulo Freire dengan model
pembelajaran pasif, yakni guru menerangkan, murid mendengarkan, guru mendiktekan, murid
mencatat, guru bertanya, murid menjawa, dan seterusnya. Paulo Freire menyebutnya dengan pendidikan
gaya bank, yakni pendidikan model deposito, guru sebagai deposan yang mendepositokan pengetahuan
serta berbagai pengalamannya pada siswa, siswa hanya menerima, mencatat dan mem-file semua yang
disampaikan guru. Pendidikan model bank tersebut menurut Freire merupakan salah satu bentuk
penindasan terhadap siswa-siswa, karena menghambat kreativitas dan pengembangan potensi mereka.
Pengajaran model itu terkadang juga disebut sebagai pendidikan gaya komando, dan menurut Muska
Mosston, gejala tersebut muncul dalam decade 60-an sampai 70-an, yang mengembangkan prinsip
distribusi sebuah keputusan harus dilakukan secara hierarkis, dari atas ke bawah, dari guru pada siswa.
Dalam pengajaran gaya komando, semua perencanaan ditentuakan oleh guru, disampaikan pada siswa,
dan siswa menerima pelajaran, mengubah perilaku sesuai dengan pelajaran baru. Akan tetapi, mereka
tidak terlibat dalam proses analisis untuk penerapan pengalaman baru tersebut pada konteks kehidupan
lain, dan lebih jauh lagi, mereka juga tidak terlibat dalam pembahasan feed back buat guru.
Pengajaran model gaya komando ini menurut Mosston merupakan salah satu bentuk akhir polarisasi
aliran behaviorisme, yang kemudian memperoleh kritik keras karena mamatikan semangat demokratisasi
dan mematikan kreativitas siswa, tidak menghargai siswa dan kurang peduli terhadap keragaman siswa.
Oleh sebab itu, kemudian berkembang model task style, yakni belajar antara penugasan dan instructional,
dan diikuti kemudian dengan kemunculan berbagai model sampai kini muncul model collaborative and
cooperative learning yang dikembangkan oleh aliran psikologi developmental, yang menekankan pada
aktivitas siswa dan dibantu oleh guru. Namun sebelum lebih jauh membahas tentang model mengajar
efektif untuk era reformasi saat ini, perlu diperjelas terlebih dahulu tentang apakah mengajar itu,
pengertian seperti apa yang akan digunakan untuk mengajar dalam konteks mendorong perwujudan
sekolah demokratis.
Sedangkan aliran psikologi kognitif memandang bahwa belajar adalah mengembangkan berbagai strategi
untuk mencatat dan memperoleh berbagai informasi, siswa harus aktif menemukan informasi-informasi
tersebut, dan guru bukan mengontrol stimulus, tapi menjadi partner siswa dalam proses penemuan
berbagai informasi dan makna-makna dari informasi yang diperolehnya dalam pelajaran yang mereka
bahas dan kaji bersama. Aliran constructivisme yang dikembangkan dari psikologi kognitif ini
menekankan teorinya bahwa siswa amat berperan dalam menemukan ilmu baru.
Contructivisme adalah aliran yang mengembangkan pandangan tentang belajar yang menekankan pada
empat komponen kunci, yaitu:
1. Siswa membangun pemahamannya sendiri dari hasil mereka belajar bukan karena disampaikan pada
mereka.
2. Pelajaran baru sangat tergantung pada pelajaran sebelumnya.
3. Belajar dapat ditingkatkan dengan interaksi social.
4. Penugasan-penugasan dalam belajar dapat meningkatkan kebermaknaan proses pembelajaran.
Namun di tengah-tengah derasnya kritik terhadap behaviorisme, Kevin Wheldall dan Ted Glynn
mengembangkan sebuah paradigma behaviorisme dengan constructivisme, dengan argumentasi bahwa
disadari atau tidak, para guru telah dan terus menerapkan prinsip-prinsip behaviorisme dalam
pengembangan proses pembelajarannya di dalam kelas, namun mereka juga tidak mau tertinggal dengan
berbagai perkembangan terbaru dalam peningkatan efektifitas pembelajaran. Demikian dikemukakan
oleh Denis Child, editor buku Wheldall. Sedangkan teori-teori Kevin Wheldall dan Ted Glynn yang
mensintesiskan teori behaviorisme dengan contructivisme yang berbasis teori psikologi developmental,
adalah sebagai berikut:
Bab
4
M BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 16
Penggunaan metode-metode yang sesuai dengan kebutuhan analisis perilaku, yakni pelaksanaan
pembelajaran dengan menekankan prosedur yang sistematis, selalu mengulang pengukuran perilaku yang
termati, dan menggunakan berbagai strategi yang logis untuk mencapai perilaku yang diharapkan.
1. Mengenali, mengakui berbagai konteks dan keadaan serta lingkungan yang penting dan
mempengaruhi proses pembelajaran siswa. Berbagai strategi yang akan meningkatkan efektifitas
belajar siswa harus dikembangkan.
2. Berusaha untuk memaksimalkan penggunaan berbagai penguat natural, kapan saja sejauh akan
melahirkan konsekuensi positif untuk perubahan perilaku, dan mereka akan mampu melakukan
generalisasi dari berbagai pengalaman belajar mereka, dan mampu mengaplikasikannya pada
kehidupan yang lebih luas. Berbagai kemungkinan penguatan artificial harus digunakan secara selektif
jika belum terbukti bahwa penguatan tersebut cukup produktif.
3. Responsif terhadap berbagai data dari hasil penelitian aliran non-behavioural. Aliran behavioural
tidak boleh selalu mengklaim bahwa hasil penelitian alirannya yang dapat dipakai. Hasil -hasil
penelitian aliran lain seperti hasil penelitian aliran psikologi developmental merupakan sesuatu yang
sangat berarti untuk interaksi orang dewasa dan anak-anak dalam seting social yang natural. Berbagai
hasil penelitian dari aliran lain dapat memperkaya teori aliran behavioural dalam memperkaya
perumusan teori-teori tentang belajar mengajar.
4. Penekanan pada belajar interaktif. Aliran behavioural menghindari penjelasan satu arah dalam proses
pembelajaran, dan mengadaptasi teori interactive learning, yang mengakui bahwa guru harus
mengubah strategi sebagai respon terhadap pembelajar (siswa) saat terjadi perubahan perilaku belajar
pada siswa.
5. Selalu berusaha untuk membantu siswa, agar mereka dapat memberikan control yang lebih besar
terhadap proses belajarnya sendiri. Dalam upaya membantu siswa agar lebih independent dalam
belajar, kita harus mempersiapkan konteks belajar bagi mereka, dan mereka diberi kesempatan untuk
memberikan kontrol yang lebih besar terhadap proses belajarnya sendiri. Konsekuensinya, siswa
harus dibenarkan untuk memilih topic-topik belajar mereka, menentukan waktu dan konteks
interkatif belajar mereka, menentukan waktu dan konteks interaksi belajar mereka. Dengan demikian,
bahan-bahan belajar untuk anak-anak (yang sudah dipersiapkan) bisa menjadi sesuatu yang
bertentangan dalam pendekatan tersebut.
6. Memperluas program-program pendidikan tidak hanya program persekolahan tapi juga mencoba
menambah dan memperkuat siswa dengan membuka peluang bagi mereka untuk mempelajari
berbagai keahlian dan keterampilan akademik dan sosial yang sesuai dengan kehidupan nyata. Kami
tidak menganggap bahwa jawaban terbenar terhadap hasil pendidikan adalah yang terikat dengan apa
yang telah diberikan guru dan sekolah, tapi juga orang tua dan teman sebaya yang telah memberikan
banyak nilai pada mereka melalui interaksinya. Kontribusi mereka terhadap hasil belajar anak-anak
sangat besar yang tidak bisa dinilai.
7. Mendorong inisiatif yang dikembangkan oleh para siswa sendiri. Kami bermaksud untuk
mempersiapkan berbagai konteks yang dapat meningkatkan inisiatif para siswa dan yang dapat
mendorong para guru untuk meresponi inisiatif tersebut.
8. Menghargai setiap kesempatan belajar yang muncul dari berbagai kesalahan. Bahwa kesalahan-
kesalahan itu menyediakan kesempatan belajar yang amat berguna. Guru dan siswa harus sama-sama
mencari dan memperoleh informasi untuk mendapatkan strategi yang dibutuhkan untuk mengatasi
berbagai kesulitan dalam belajar. Metode aliran behavioural constructive merancang untuk
mendorong belajar tanpa kesalahan, dan melarang guru dan siswa untuk mengakses peluang berbagai
kesalahan tersebut.
9. Mengakui kompleksitas skil guru professional yang dibutuhkan oleh setiap guru. Kami benar-benar
menolak ide untuk mencoba menghasilkan bahan ajar yang dihasilkan guru yang dapat menurunkan
peran-peran profesionalisme guru. Riset-riset aliran behavioural kini terus berusaha untuk
melengkapi guru dengan berbagai keterampilan dan prosedur untuk dapat digunakan dalam praktik
secara langsung dalam menciptakan proses pembelajaran yang sesuai konteks bagi para siswa yang
adalam didikannya. Semuanya ini termasuk perumusan model yang mendekati perilaku akademik dan
social, dan mengembangkan kerjasama dengan orang tua, teman sebaya, serta para professional
dalam prosedur yang dikembangkan untuk meningkatkan efektifitas proses pembelajaran siswa. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 17
Untuk menjadi warga yang cerdas, setiap anak harus di didik dibina agar memiliki berbagai keahlian, skil
dan keterampilan sesuai dengan talenta dan kemampuan yang mereka miliki. Gagasan besar tersebut
sangat mudah diucapkan namun sukar untuk dirumuskan secara definitive untuk mencoba menyusun
langkah-langkah yang akurat menuju ide-ide tersebut. Apakah smart citizen dengan berbagai kualifikasi
idealnya sebagaimana telah dikemukakan di atas, bisa dicapai dengan pengembangan kemampuan
kecerdasan dalam tahapan-tahapan kognitif seperti konsep Benjamin S. Bloom, yakni pengembangan
kemampuan berpikir pada enam (6) level, dari mengenal, memahami, mengaplikasi, analisis, membuat
sintesis dan melakukan evaluasi, yang kemudian diinternalisasi dengan perlakuan afektif dan dibiasakan
dengan perlakuan psikomotorik. Pertanyaan besar ini masih terus diwacanakan di kalangan para peneliti
dan peminat pendidikan. Salah satu hipotesisnya adalah kecerdasan seseorang, dalam sains dan teknologi
tidak menjamin kesuksesan karir hidup dengan kemampuannya itu, tanpa diperkuat kecerdasan-
kecerdasan lainnya yang diperlukan untuk mengembangkan kemitraan dengan orang lain,
mengembangkan kepercayaan diri, serta berbagai kemampuan komunikasi verbal dan non-verbal yang
diperlukan dalam artikulasi keilmuannya. Oleh sebab itu, Donald P. Kauchak mengangkat teori multiple
intelligence yang dikutipnya dari hasil penelitian Howard Gardner, yakni kecerdasan seseorang tidak
hanya diukur dengan tingkat intelligence question yang hanya mengukur tiga variable, yakni berpikir
abstrak dan rasional, kemampuan penyelesaian masalah, dan kemampuan penguasaan pengetahuan, tapi
dalam berbagai aspek yang sangat diperlukan dalam pengembangan kehidupan ke depan. Menurut
Howard Gardner, terdapat tujuh (7) variable yang bisa diukur untuk melihat kecerdasan seseorang, yakni:
1. Linguistic intelligence
2. Logical-mathematical intelligence
3. Misical intelligence
4. Spatial intelligence
5. Bodily-kinesthetic intelligence
6. Interpersonal intelligence
7. Intrapersonal intelligence
Gambar 9
Model Pembelajaran Problem Solving
Adaptasi Dari Donal P. Kauchak
Identifikasi Masalah
Merumuskan Masalah
Pemilihan Strategi
Pemilihan Strategi
Evaluasi Hasil BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 18
Model belajar problem solving tersebut, kini sudah mulai dikembangkan dengan modelpembelajaran
portofolio. Pembelajaran dengan outcome level tertinggi lainnya adalah pengembangan criticak thinking
yakni kemampuan berpikir kritis, yang bisa dikembangkan sejak dini, dan tidak tergantung pada tingkat
intelligence question, namun pada intensitas pembinaan dan kebiasaan melatih anak berpikir kritis.
Kenneth D Moore (moore, 2001: 113) memberikan ilustrasi bahwa berpikir kritis itu lebih kompleks
daripada berpikir biasa, karena berpikir kritis berbasas pada standar objektivitas dan konsisten. Guru,
menurutnya pula, harus membiasakan siswa untuk mengubah pola berpikirnya, yakni:
1. Dari menduga menjadi mengestimasi.
2. Dari memilih menjadi mengevaluasi
3. Dari pengelompokan menjadi pengklasifikasian.
4. Dari percaya menjadi menduga.
5. Dari penyimpulan dengan dugaan pada penyimpulan secara logis.
6. Dari selalu menerima konsep pada mempertanyakan konsep.
7. Dari menduga menjadi menghipotesis.
8. Dari menawarkan pendapat tanpa alas an pada penawaran pendapat dengan argumentasi.
9. Dari membuat putusan tanpa criteria pada pembuatan putusan dengan criteria.
Secara umum ada empat tahap dalam peningkatan kebiasaan berpikir kreatif yang bisa dikembangkan
pada berbagai aktivitas belajar siswa, yakni:
1. Persiapan, yakni proses pengumpulan berbagai informasi untuk diuji (sebagai sebuah opsi dalam
penyelesaian masalah, jika kreativitas ini dikembangkan untuk menyelesaikan masalah). Pemikir
kreatif akan mempertanyakan dan menginvestigasi hubungan antara kejadian, ide dan tujuan, sampai
dia memperoleh sebuah hipotesis.
2. Inkubasi, yakni suatu rentang waktu untuk merenungkan hipotesis tersebut sampai dia memperoleh
sebuah keyakinan bahwa hipotesisnya itu sangat rasional. Masa inkubasi ini bisa dipersingkat.
3. Iluminasi, yakni fase kecerahan saat pemikir memperoleh keyakinan benar bahwa hipotesisnya itu
yang paling kuat dan paling benar.
4. Verifikasi, yakni pengujian kembali hipotesisnya untuk dijadikan sebuah rekomendasi perbaikan atau
perubahan berdasarkan hasil temuan baru. Verifikasi ini memerlukan data yang dapat menguji
rumusan hipotesisnya itu.
Gambar 10
Tahapan Prosedur Berpikir Kreatif
Tabel 11
Tabel Taxonomy Of Thinking
Identifikasi Masalah
Iluminasi
Inkubasi
Verifikasi
BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 19
No Jenis Kegiatan Indikator-Indikator Kecakapan
01 Kemampuan Berpikir
Strategis
a. Kemampuan
menyelesaikan
masalah
b. Kemampuan
membuat
keputusan
Mengenali masalah, merumuskan
masalah, menyusun pilihan-pilihan
penyelesaian masalah, melaksanakan
rencana penyelesaian masalah, dan
mengevaluasi hasil penyelesaian
masalah
Mampu merumuskan tujuan, kemam-
puan mengidentifikasi beberapa
alternatif, kemampuan menganalisis
alternatif, kemampuan mengambil
keputusan terhadap pilihan terbaik,
dan memilih satu pilihan sebagai
sebuah putusan akhir
02 Kemampuan Berpikir
Kritis
Mampu membedakan antara fakta
yang biasa diverifikasi dengan
tuntutan nilai, mampu membedakan
antara informasi, alasan, dan tuntutan-
tuntutan yang relevan dengan yang
tidak relevan, mampu menetapkan
fakta yang akurat, mampu menetap-
kan sumber yang memiliki kredibilitas,
mampu mengidentifikasi tuntutan dan
argumen-argumen yang ambiguistik,
mampu mengidentifikasi asumsi-
asumsi yang tidak diungkapkan,
mampu menditeksi bias, mampu
mengidentifikasi logika-logika yang
keliru, mampu mengenali logika yang
tidak konsisten, dan mampu menetap-
kan argumentasi atau tuntutan yang
paling kuat.
03 Kemampuan
Memproses Informasi
Kemampuan untuk mengingat dan
mengutarakan kembali sebuah
informasi, kemampuan menerjemah-
kan informasi, kemampuan menafsir-
kan informasi, kemampuan mengapli-
kasikan informasi, kemampuan meng-
analisis, membandingkan dan
mengklasifikasi informasi, kemampu-
an mensintesiskan informasi, kemam-
puan mengevaluasi, dan kemampuan
menyimpulkan, dengan pendekatan
induktif, deduktif maupun analogis.
Gambar 11
Siklus Perencanaan Pembelajaran
Penetapan Content/
Penetapan Kembali
Conten
Penulisan Tujuan
Pembelajaran
Pemaparan
Perencanaan
Pembelajaran
Evaluasi
Penutupan/Proses
Pembelajaran
Pemilihan
Strategi
1/7 2 3
6 5 4 BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 20
Gambar 13
Beberapa Pilihan Pengayaan
Bagi Siswa-Siswa Yang Cepat Menyelesaikan Tugas
No Jenis Kegiatan Indikator-Indikator Kecakapan
01
Membaca bebas
Rak buku atau masalah disiapkan
dibelakang ruangan kleas untuk
sewaktu-waktu dipergunakan oleh
siswa untuk membaca dalam rangka
pengayaan kemampuan keilmuan
mereka.
02 Permainan Sbahagiaan ruangan kelas
dikosongkan, dan para bisa melakukan
permainan game akademik sesuai
mata pelajaran yang mereka pelajari.
03 Komputer Guru mempersiapkan berbagai menu
berupa software game atau simulasi
yang terkait dengan pelajaran, dan
dapat digunakan oleh siswa untuk
menghabiskan waktu luangnya setelah
menyelesaikan tugas-tugasnya.
04 Pusat belajar. Berupa bahan-bahan ajar yang
disiapkan guru, dan sudah lengkap
dengan tujuan learning guidenya.
05 Riset Individual
(Project)
Dalam mengisi waktu luangnya,m
siswa juga bisa mengerjakan tugas riset
individualnya.
06 Peer Tutoring Tutorial sebaya, yakni mereka yang
telah memiliki pemahaman baik
tentang bahan ajar, ditugaskan oleh
guru untuk mendampingi mereka yang
belum memiliki pemahaman baik
tentang tugas-tugas dalam proses
pembelajarannya.
Berbagai strategi dapat dikembangkan untuk meningkatkan kualitas proses pembelajaran dalam rangka
meningkatkan hasil, dengan pendekatan pendidikan yang sangat mempertimbangkan multikultur, yaitu:
1. Siswa harus diberi kepercayaan.
2. Hargai latar belakang kultur mereka. BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 21
3. Tingkatkan partisipasi keluarga.
4. Bantu siswa-siswa dalam mengembangkan skil sosialnya.
5. Gunakan strategi pembelajaran interaktif.
6. Ajarkan mereka dengan adil dan penuh perhatian.
7. Pahami siswa-siswa anda.
8. Buang sikap anti toleransi.
9. Refleksikan kultur Anda sendiri.
10. Bacalah literature-literatur multikultur.
11. Sampaikanlah pertanyaan-pertanyaan berkualitas tinggi untuk mengembangkan kemampuan berpikir
kritis siswa.
12. Sediakan peluang akses yang sama bagi semua siswa.
13. Kurangi sikap prejudice (prasangka) dan pahami hak-hak mereka.
14. Tentukan teks yang dibutuhkan.
Gambar 14
Struktur Kompetensi
Tabel 3
Tabel Indikator
Kompetensi Setiap Level Dari Setiap Ranah
Adaptasi Contoh Kenneth D. Moore
No Ranah Level Kecakapan Indikator Kecakapan
01
Kognitif
Knowledge
(Mengetahui dan
mengingat)
Menyebutkan, menuliskan, menyata-
kan, mengurutkan, mengidentifikasi,
mendifinisikan, mencocokan, mena-
mai, melabeli, menggambarkan.
02 Cimprehension
(Pemahaman)
Menerjemahkan, mengubah, meng-
generalisasi, menguraikan (dengan
kata-kata sendiri), menulis ulang
(dengan kalimat sendiri) meringkas,
membedakan (diantara dua),
mempertahankan, menyimpulkan,
Kompetensi Lulusan
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
I
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
II
Kompetensi Rumpun
Mata Pelajaran
III
PB
I
PB
II
PB
III
PB
I
PB
II
PB
III
PB
I
PB
II
PB
III BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 22
berpendapat, dan menjelaskan.
Application
(Penerapan ide)
Mengoperasikan, menghasilkan,
mengubah, membatasi, mengguna-
kan, menunjukkan, mempersiapkan,
dan menghitung.
Analysis
(Kemampuan
menguraikan)
Menguraikan satuan menjadi unit-
unit yang terpisah, membagi satuan
menjadi sub-sub atau bagian-
bagian, membedakan antara dua
yang sama, memilih, dan mengenai
perbedaan (diantara beberapa yang
dalam satu kesatuan)
Synthesis
(Unifikasi)
Merancang, merumuskan, meng-
organisasikan, mengompilasikan,
mengomposisikan, membuat
hipotesis, dan merencanakan.
Evaluation
(Menilai)
Mengkritisi, mengintepretasi, men-
jastifikasi dan memberikan penilaian
02 Afektif Receving
(Penerimaan)
Mempercayai (sesuatu atau
seseorang untuk diikuti), memilih
(seseorang atau sesuatu untuk
diikuti), mengikuti, bertanya (untuk
diikuti), dan mengalokasikan.
Responding
(Tanggapan)
Mengkonfirmasi, memebri jawaban,
membaca (pesan-pesan), mem-
bantu, melaksanakan, melaporkan,
dan menampilkan.
Valuing
(Penanaman nilai)
Menginisiasi, mengundang (orang
untuk terlibat), terlibat, mengusulkan
dan melakukan.
Chaaracterization
(Karakterisasi
kehidupan)
Menggunakan nilai-nilai sebagai
pandangan hidup worldview), mem-
pertahankan nilai-nilai yang sudah
diyakini.
03 Psikomotorik Oberving
(Memperhatikan)
Mengamati proses, memberi per-
hatian pada tahap-tahap sebuah
perbuatan, memebri perhatian pada
sebuah artikulasi.
Imitation
(Peniruan)
Melatih, mengubah sebuah bentuk,
membongkar sebuah struktur,
membangun kembali sebuah
struktur, dan menggunakan sebuah
konstruk, atau model.
Practicing
(Pembiasaan)
Membiasakan sebuah model atau
perilaku yang sudah dibentuknya.
Mengontrol kebiasaan agar tetap
konsisten.
Adapting
(Penyesuaian)
Menyesuaikan model, membenar-
kan sebuah model untuk
dikembangkan, dan menyekutukan
model pada kenyataan.
Evaluasi merupakan bagian yang juga penting dalam pembelajaran efektif, yakni guru harus
menyelenggarakan evaluasi di akhir setiap sesi pelajaran, baik untuk melihat efektifitas strategi yang dia
kembangkan, maupun untuk mengukur hasil belajar siswa yang dapat dijadikan input untuk perencanaan
pembelajaran berikutnya. Jika guru tidak mempunyai data tentang keberhasilan hari itu, dia tidak akan BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 23
memiliki informasi yang cukup dalam perencanaan berikutnya, sehingga tragedy penumpukkan
akumulasi ketidakpahaman siswa juga akan terulang, dan sekolah akan terus dikritik oleh client-nya
karena meluluskan siswa dengan nilai di bawah standar minimal penguasaan bahan ajar.
Model perencanaan prosedur pembelajaran yang di tawarkan Hunts memuat aspek-aspek sebagai
berikut:
Pokok Bahasan,
Sub-Pokok Bahasan
Tujuan umum (dalam model terakhir, kompetensi),
Tujuan khusus, (indicator kompetensi)
Prosedur dan Materi:
1. Review, melakukan diskusi singkat tentang pelajaran lalu dan hubungannya dengan yang akan
dipelajari hari ini.
2. Overview, menjelaskan outline bahan-bahan ajar hari itu untuk didiskusikan.
3. Presentation, menjelaskan inti pelajaran hari itu dengan telling, showing dandoing.
4. Exercise, yakni memberikan kesempatan pada siswa untuk melatihkan apa yang telah mereka pahami
dalam proses pembelajaran.
5. Summary, terakhir merumuskan summary.
Gambar 13
Alur Komunikasi Kelas
Sementara itu Kennet D. Moore secara realitas memberikan pandangan, bahwa tidak semua guru
memiliki bakat pembicara yang baik, namun mereka harus menjadi komunikator yang efektif. Untuk itu,
guru harus melatih vokalnya dan irama penyampaian pelajarannya, sehingga tidak sekadar efektif
menyampaikan pesan, tapi juga nikmat untuk didengar. Sejalan dengan pandangannya itu, Moore
membagi komunikasi verbaluntuk proses pembelajaran ini menjadi dua, yaitu verbal learning dan vocal
learning. Verbal learning adalah proses pembelajaran yang dilakukan siswa dengan memahami apa yang
disampaikan guru melalui kata-kata yang diucapkannya. Dalam konteks ini, guru menyampaikan pesan-
pesan pembelajarannya, serta berbagai uraian tentang bahan ajar dengan menggunakan bahasa lisan
sesuai kemampuan dan kebiasaannya dia berbicara. Oleh sebab itu, tingkat pemahaman siswa sangat
dipengaruhi oleh beberapa factor sebagai berikut.
1. Pengorganisasian bahan ajar, semakin baik bahan-bahan uraian itu terorganisasikan, maka akan
semakin baik tingkat pemahaman siswa terhadap bahan-bahan tersebut.
2. Kejelasan kata, yakni menggunakan kata-kata yang jelas dan bermakna pasti hanya satu makna, lebih
baik daripada menggunakan kata-kata bermakna ganda, sehingga pemahaman siswa sesuai dengan
maksud yang diucapkan oleh gurunya. Namun tidak boleh untuk memaksakan penggunaan kata-kata
yang jelas dengan mengabaikan inti pesan.
Siswa Sebagai
Sasaran Komunikasi
Guru Sebagai
Sumber Komunikasi
Pesan Terpilih Untuk
Disampaikan
Pesan Diterima Guru, dan
Guru Menyusun Ulang Pesan
Tersebut
Siswa Bereaksi, dan
Mengirim Pesan Ulang pada
Guru BAB 4 : BELAJAR YANG MEMBELAJARKAN
PARADIKMA PENDIDIKAN DEMOKRATIS 24
3. Untuk mempermudah pemahaman, sebaiknya informasi diperjelas dengan contoh-contoh dua arah,
arah yang dimaksud dan arah yang tidak dimaksud, atau contoh yang salah, supaya siswa memahami
dengan baik maksud pesan yang disampaikan.
Inilah makna verbal learning dan upaya-upaya peningkatan efektifitasnya dalam belajar. Sedangkan vocal
learning adalah proses pembelajaran yang dialkukan siswa dengan memahami pesan-pesan yang
diucapkan guru dengan tempo yang sedang, tidak terlalu cepat dan juga tidak terlalu lambat, tinggi
rendah nada suara yang diatur, dan intonasinya disesuaikan dengan pesan yang disampaikan. Penggunaan
vocal yang baik, intonasi yang pas, tempo yang sedang dan ritme yang sesuai dengan alur pesan akan
membantu efektifitas penyamapain pesan dalam proses pembelajaran, dan membantu pemahaman siswa
terhadap pesan-pesan yang dibawakan guru tersebut.
Kemudian dari itu, sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa komunikasi guru dengan siswanya,
juga bisa menggunakan model komunikasi non-verbal, yakni komunikasi yang tidak menggunakan kata-
kata, tidak bisa didengar dan juga tidak bisa dibaca dalam uraian kata-kata tertulis. Komunikasi non-
verbal hanya bisa dipahami dari berbagai isyarat gerakan anggota tubuh yang mengekpresikan sebuah
pesan. Setidaknya ada tujuh (7) bentuk gerakan tubuh yang biasa dan bisa digunakan guru dalam
berkomunikasi dengan siswa-siswanya, yakni sebagaimana terlihat dalam diagram berikut ini:
Gambar 15
Macam-Macam Model Komunikasi Non-Verbal Dalam Kelas
Daftar Pustaka: Dr. Dede Rosyada, MA, Paradigma Pendidikan Demokratis, “Sebuah Model Pelibatan
Masyarakat DdalamPenyelenggaraan Pendidikan”, Kencana, 2004.
Simbol Bahasa
Non-Verbal
Kinesis
Gerakan Tubuh
Proxemics
Menggunakan Jarak
Kinesis
Gerakan Tubuh
Environmental
Factors
Chronemics
Menggunakan Waktu
Paralanguage
Menggunakan Suara
Oculasics
Menggunakan Mata
Labels :
news
investment systems
Anti Vir
free template
car body design
Top 3: Rekutmen CPNS 2021 Cetak Sejarah hingga Sadikin Aksa Tersangka
-
*Liputan6.com, Jakarta -* Pemerintah masih terus mematangkan proses
rekrutmen atau Seleksi CPNS 2021 dan PPPK dengan total formasi sebanyak
1,27 juta. Re...
3 tahun yang lalu
0 Response to " "
Posting Komentar